Apres "Penjaga Malam" EKa Kurniawan
APRESIASI SASTRA
Cerpen ‘PENJAGA
MALAM’
Karya : Eka
Kurniawan
oleh:
Djanur Tirto Reja
Djanur Tirto Reja
/1/
Cerpen merupakan bagian dari genre
prosa. Prosa sendiri merupakan salah satu genre dalam dunia kasusatraan
Indonesia yang memiliki cirri kebahasaan yang bebas dan terurai, bebas dan
terurai disini diartikan sebagai bentuk ungkapan nilai estetika (ciri utama
kebahasaan sastra) dan ungkapan ketidaklangsungan berupa bentuk narasi bahasa
yang terurai dalam strukturnya.
Berbeda dengan ciri genre sastra yang
lain seperti puisi dan drama. Puisi memiliki cirri kebahasaan yang dipadatkan
dalam struktur badannnya atau dapat disebut pula bahasa yang dimampatkandalam
beberapa kata dana kalimat yang sederhana. Begtu pula dengan genre sastra
drama. Struktur drama memiliki ciri kebahasaan berupa adanya dialog, stage
direction dan keterangan adegan atau kramanggung.
Dari ketiga genre kesusastraan Indonesia
tersebut, dalam hal kepopuleran dalam ukuran kuantitas penikmat dari
masing-masing genretersebut di masyarakat umum adalah prosa dan puisi. Namun,
jika dibandingkan lagi kedua genre tersebut ang paling popular adalah prosa.
Hal tersebut muncul tidak semata-mata muncul tanpa acuan. Pada dasarnya
kepopuleran bidang sastra dalam masyarakat umum untuk menikmati dan membaca
yang paling utama dalam kegiatan tersebut adalah aspek kemampuan pembaca untuk
mengerti dan membaca satra tersebut, artinya ketidak mampuan pembaca dalam hal
ini masyarakat untuk tidak tahu tentang sastra mengakibatkan masyarakat tidak
suka dan tidak mengonsumsi teks sastra tersebut.
Dari hal tersebut jelas kita dapat klasifikasikan
bahwa dari ketiga genre sastra ditilik dari ciri kebahasaan dapat menentukan
genre apa yang paling popular. Dari puisi, jelas puisi memiliki cirri
kebahasaan yang dipadatkan tidak masuk kategori kepopuleran dimasyarakat (bukan
berarti tidak ada sama sekali namun jumlahnya yang sedikit dibandingkan dengan
prosa) hal tersebut dibuktikan dengan minimnya atau sedikitnya peredaran
antologi puisi dibandingkan dengan produk genre sastra yang lain. Begitu pula
dengan drama. Drama sebagai produk karya sastra berupa dialog adan segala
keterangan pementasannya akan lebih banyak dinikmati masyarakat berupa
pementasannya dari pada membaca buku dramanya.
Berbeda dengan prosa, yang memiliki
cirri kebahasaan yang terurai dan bebas, prosa lebih banyak mendapat tempat di
masyarakat luas. Hal tersebut cukup terbukti dengan laju produktifitas prosa
yang berkembang di masyarakat seperti halnya munculnya novel dan antologi
cerpen yang hamper setiap tahun pasti ada produk karya sastra berupa prosa
baru. Berbeda dengan kedua genre sastra yang lain
Pencapaian tersebut dapat diartikan
sebagai dua pencapaian yang positif dan negative. Hal positif, dapat diartikan
bahwa pencapaian itu adalah memasyarakatnya teks sastra pada masyarakat umum,
sastra yang kita artikan sebagai piwulang,
pitutur, dan ajaran kepada
masyarakt pemabaca dengan perwujudan analogi penceritaan dan ungkapan yang
secara langsung dan tidak langsung berhubungan dengan masyarakat. Hal negatifnya
adalah adanya lading pencarian keuntungan dalam proses produksi dan beredarnya
karya sastra berupa prosa yang tidak masuk kriteria sastra sesungguhnya
sehingga mengalakkan produksi karya sastra seenaknya, termasuk didalamnya
berupa novel, dan cerpen.
Untuk itulah perlu di adakannya sebuah
kegiatan pengapresiasian karya sastra berupa prosa yaitu cerpen, khusunya untuk
menilai, mendapatkan pengertian dari cerpen tersebut atau secara umum karya
sastra berupa prosa di era saat ini yang beredar di masyarakat yang akan
dijelaskan bab selanjutnya oleh penulis tentang cerpen yang berjudul ‘Penjaga
Malam’ karya Eka Kurniawan.
/2/
Cerpen yang berjudul ‘Penjaga Malam’
karya Eka Kurniawan ini. Memiliki struktur yang padat dan campuran. Di tilik
dari bahasaanya cerpen ini termasuk cerpen yang memiliki kemudahan pembacaan
bagi pembaca karena bahasa yang
digunakan tidak begitu sulit dipahami. Dari segi luar konteks cerpennya, cerpen
ini mengarah pada social budaya masyarakat kuna atau pedesaan dan dapat di
curigai bahwa latar belakang cerpen ini adalah kebudayaan jawa di desa.
Unsure-unsur
yang sangat dominan dalam cerpen berjuduk ‘Penjaga Malam’ karya Eka Kurniawan
ini adalah unsur mistik atau hal-hal yang berbau misteri. Menilik hal tersebut
dapat dikategorikan bahwa cerpen ini masuk dalam kategori cerpen fantastic.
Cerpen-cerpen fantastic adalah cerpen yang didalamnya mengangkat cerita-cerita,
pengambaran-pengambaran berupa hal-hal yang sangat sulit diterima dan dicerna
oleh akal manusia. Seperti contoh karya yang lain adalah kisah Harry Potter,
Sepotong Bibir di Jalan Raya, dan Sepasang Ular di Salib Ungu.
Tema yang diangkat dalam cerpen ini adalah misteri
kabut malam yang menghilangkan manusia. Secara garis besar klimak dari cerpen
ini ialah kesenyapan yang membawa linkungan pencerita menjadi mati dan
seolah-oolah tidak hidup, dan diakhiri oleh entah kemtian atau hanya hilangnya
para penjaga desa di telan kegelapan malam.
Setting yang digunakan dalam cerpen ini adalah
sebuah desa kecil yang terletak di bawak kaki-kaki bukit dengan sumber
penerangan lentera ( dapat kita artikan hal ini adalah saat dimana desa-desa
masih benar-benar kuna dan lama). Waktu yang di gambarkan dalam cerpen tersebut
adalah pada malam hari hal tersebut dibuktikan dengan pengambaran paragraph
yang ada dalam cerpen tersebut:
Hujan
badai berhenti menjelang tengah malam. Kami melihat dua ekor ajak tersesat, mendatangi
cahaya lentera di tepi gardu, namun seger bergegas menerobos gerumbul ilalang
begitu merekamelihat kami. Binatang-binatang liar turun gunung, pikirku,
demikian hantu-hantu. Sejenak selepas akau memikirkan itu, satu angin kencang
berpusing di atas kami, emmbuat lentera terayun-ayun berputar dan sekonyong
cahayanya padam. Kami mendengar sesuat terbang di kegelapan, barangkali sepokok
batang pisang tercerabut dan dilambungkan jauh oleh angin celaka.
Dari pengambaran tersebut diatas jelas
terkait dengan setting cerpen tersebut beradai di desa di bawah kaki bukit dan
gunung pada malam hari suasana angin dan badai dan suasana hati para pelaku
adalah mencekam dengan kondisi lingkungan pos penjagaan yang menakutkan.
Amanat dalam cerpen ini berupa rasa gotong
royong untuk menjaga desa bersama-sama. Hal tersebut juga dapat kita curigai
sebagai anggapang mengkritik sikap acuh tak acauh dengan kondisi lingkungan
tempat tinggal oleh masyarakat modern saat ini. Selain itu juga terdapat nilai
untuk tidak meninggalakan istri yang sedang hamil di rumah sendirian. Namun
secara pemaknaan positif hal tersebut dapat kita artikan pula sebagai rasa
ungkapan profesionalisme tokoh pencerita dalam cerpen tersebut untuk
melaksanakan tugasnya secara professional untuk menjaga desa pada malam selasa
meskipun istrinya sedang hamil anak pertamanya, seperti gambaran cuplikan
paragraph dibawah ini :
…..istriku
yang tengah bunting lima bulan mengaku melihat bajang itu di waktu subuh, ia
menjerit dan aku terbangun. Sejak saat itu ia tak pernah keluar rumah di malam
hari seorang diri. …………
………sejak
ia melihat bajang itu, ia tak melakukannya lagi kecuali aku menemaninnya, dan
subuh ini aku tak akan bersamannya, pikirku serupa satu ramalan yang aneh,
sebab bajang itu mungkin telah masuk ke rumah.
Selanjutnya penokohan, penokohan dalam cerpen ini
terdapat empat tokoh utam di tambah tokoh pelengkap seorang istri dari si
pencerita menjadi lima tokoh diantaranya : Karmin, Hamid, Miso, Si Pencerita
dan istri pencerita. Secara spesifik tokoh-tokoh tersebut memiliki
karakter-karakter yang berbeda pertama Karmin meiliki watak yang tanggung
jawab, hal tersebt digambarkan dengan keinginan yang tidak dipaksakan melainkan
muncul dalam dirinya sendiri ketika badai dan angin ia tetap menjalankan tugas
untuk memastikan tidak ada sesuatu yang terjadi di desa sehingga ia tetap
berkeliling desa meskipun pada akhirnya ia hilang di telan kegelapan. Kedua
Miso, Miso memiliki karakter empati yang tinggi hal itu dibuktikan dengan
kegelisahanya memandang arah timur dimana bayang-bayang Karmin menghilang dan
ia berinisiatif untuk menyusulnya dari arah yang berlawanan namun yang terjadi
adalah Miso juga tak segera kembali ke pos penjagaan , ia juga hilang di tengah
kegelapan.
Ketiga
adalah Hamid, Hamid meiliki karakter yang pemberani. Hal tersebut dibuktikan
dengan keberaniannya untuk yang pertama kali ikut menjaga desa di malam yang
penuh badai dan rintik hujan. Selain itu juga karakter tersebut dibuktikan
dengan pengambaran dalam cerpen tersebut;
……….hamid
turun dan mengambil kentingan lain, memukul-mukul berkali-kali, lalu ia diam
mendengarkan, dan kami tak mendengar balasan apa pun.
Aku
akan mencari Karmin dan Miso, katanya. Tidak aku saja, kataku.
Ke
empat adlah si pencerita. Si pencerita memiliki karakter yang mudah bimbang,
penakut, dan peragu. Hal tersebut dibuktikan dengan ungkapannya diantaranya :
Bocah
itu memandangku dengan tatapan bertanya. Aku begitu lelah dan mengantuk, tak
memedulikanya, dan bersandar ke didinding gardu mencoba melepas penat……
Kami
sama menanti Karmin dan berharap ia dating membawa kabar baik, bahwa kampong
tak tersentuh celaka apapun. Tapi karmi tak juga muncul sementara istriku di
rumah tak terjaga siapapun. Ia harus mnegunci pintu rapat-rapat
Secara
garis besar ceriota dalam cerpen tersebut adalah sebagai berikut. Cerita
bermula dari seorang keluarga yang mendapat gilir untuk menjga desa pada malam
selasa. Namun istri dari keluarga tersebut sedang mengandung anak pertama.
Meskipun demikian sang suami yang bertindak sebagai pencerita dalam cerpen ini
tetap beragkat ke gardu untuk menjaga desa. Dari sinilah alur kliamks cerita di
mulai.
Sampai pada gardu, terdapat empat tokoh yang menjga
tiba-tiba suasan menjadi tak biasa. Angin tiba-tiba membesar diikuti rintik
hujan yang mulai menabur-nabur. Dan ketakuatan menyerang ke empat tokoh
tersebut. Kondisi yang demikian mengakibatkan para tokoh berfikiranegatif
tentag desa, ada sesuatu yang melanda desa atau telah terjadi bencana di desa
sehingga satu persatu tokoh bergegas
memeriksa keadaan desa. Namun yang terjadi satu persatu pula tokoh-tokoh penjga
desa itu menghilang di kegelapan malam hingga tokoh terakhir yaitu Hamid dan Si
Pencerita memeriksa keadaan desa berdua juga mngalami nasib yang sama.
/3/
Cerita pendek yang berjudul ‘Penjaga Malam’ karya
Eka Kurniawan ini memiliki unsure kepekaan pengambaran situasi dan kondisi
cerita yang baik. Seperti dikatakan sebelumnya bahwa cerpen ini termasuk jenis
cerpen yang masuk dalam korodor jenis cerita
fantastic, yaitu cerita yang didalamnya terdapat pengambaran unsure cerita yang
tak masuk aakal dan sulit diterima akal, bahwasanya cerita tersebut berupa
cerita misteri.
Untuk saat ini, meinjam ungkapan dosen
sastra Indonesia, bahaw keberadaan cerita jenis Fnatastik di Indonesia cukup tak
banyak atau sedikit. Hal itu bukan tanpa alas an apa-apa, cerita yang memilki
kecenderungan bercerita tentang misteri , pada dasarnya harus mampu membawa
pembaca atau penikmat masuk kedalam apa yang terjadi dan apa yang menjadi nilai
rasa dalam cerita tersebut dan kemampuan seorang pengarang menuliskan cerita
yang berjenis fantastic ini dapat di buktikan dengan tolak ukur hal tersebut.
Dan itulah yang dilakukan Eka Kurniawan, dapat membawa pambacaa masuk kedalam
tragedy cerita misterinya.
Ungkapan yang bertemakan misteri tidak
semudah mengungkapkan pengambaran keindahan dan kesedihan. Ungkapan misteri
harus meiliki unsure yang lebih dan butuh kemampuan kebahasaan yang mumpuni. Maka
cerpen ini, cerpen yang berjudul ‘Penjaga Malam’ karya Eka Kurniawan ini adalah
cerpen yang menarik dan miliki keragaman ungkapan yang baik.
Komentar
Posting Komentar
Salam kenal 😊 Terima kasih sudah berkomentar. Sering-sering mengecek postingan terbaru dari www.omahloretan.blogspot.com yaa 😊