Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2018

Yang Kami Sebut Blakontang

Gambar
Sumber: google Menyusuri jalanan desa,  tiga anak kecil sangat teliti mengamati gundukan sampah di pinggir jalan.  Saat itu pukul 13.00, sepulang sekolah,  seorang menaiki sepeda sembari meneteng tas kresek plastik hitam.  Dua anak lainnya berjalan beriringan di sisi kanan dan kiri jalanan. Fokus mereka tetap sama, mendolog pada tumpukan-tumpukan sampah. Tong-tong sampah yang tertutup pun bakal mereka endus, lantas buka dengan pandangan tajam. Ketiganya sangat berharap tas plastik hitam yang disematkan pada stang sepedah bercat hitam itu terisi penuh. Ya,  terisi penuh dengan bungkus-bungkus rokok yang berharga mahal. Pemulung?  Bukan. Mereka adalah anak-anak polos yang tengah menempuh pendidikan dasar. Untuk mereka,  bungkus-bungkus rokok itu menjadi alat transaksi dalam permainan kerakyatan. Blakontang biasa mereka menyebutnya. Sebab,  bagi ketiganya, hal tersebut sangat penting.  Tak sembarangan bocah bisa berimajinasi dengan barang-barang bekas murahan semacam itu.  N

Randu yang Menggebu

Gambar
http://www.caradesain.com/14-foto-indah-lampu-di-malam-hujan/ RANDU melihat jam digital yang terpasang di salah sudut kantor. Ia melihat dua titik berkedip di antara angka 00 dan 01. Lantas, pandanganya mengamati dan mencari seorang senior perempuan yang duduk di seberang pintu keluar. Dia belum pulang, pikirnya. Masak, kalah dengan dia, pikirannya terus menerawang dan menganalisis tindakan yang akan dilakukan berikutnya. Lumayan lama ia memperhatikan keadaan sekitar. Dipandangnya tumpukan koran-koran bekas di pojok kantor. Diciumnya harum wangi godaan aroma tubuh perempuan yang barusan nyelonong lewat di belakangnya. Cantik, seksi, otaknya kira-kira berkata. Ia juga serius mengamati layar monitor berukurun 12 inci yang di salah sudutnya tertulis "Bekerjalah dengan hati, jangan setengah-setengah". Sebentar pula, ia selalu berjalan menyusuri dimensi waktu mengingat gadisnya yang mengatakan itu saat berpesan pada hari ulang tahun. Ini pesan atau todongan, tanya Randu kemb

Di Tingkat Mikro, Kedaulatan Pun Penting

Gambar
Ilustrasi: Feri Fenoria Karcis parkir dua ribu tanpa kembalian membuka lakon saya sinau dengan Cak Nun. Balai Pemuda Surabaya pukul 23.00 kala itu, saat saya tiba, sudah lumayan ramai. Meski demikian, dari lamat-lamat alunan sound system yang terdengar ketika memarkir kendaraan, suara yang mengisi masih bukan Cak Nun. Alias, Cak Nun belum munggah atau naik panggung memberikan petuah-petuah. Syukur,  belum ketinggalan. Saya sangat berharap, malam itu isu yang bakal diangkat tentang Jawa. Ya,  minimal soal Jawa lampau atau nilai-nilainya. Namun,  setelah mendapat tempat di pojok sayap kanan belakang panggung,  saya menyimpulkan, dini sebenarnya,  harapan tersebut ternyata salah. Itu saya dapati dari diskusi pembuka yang digelar. Yakni,  bicara soal zalzalah, hiperpesimistis sindrom sebenarnya. Ada Ukhti dan Anak-Anak Sembari menunggu Cak Nun naik,  kepulan rokok yang bersahut-sahutan dari setiap bagian kerumunan masa menarik untuk diperhatikan. Juga,  seloroh "pento