Postingan

Menampilkan postingan dengan label Kolom

Renung: Mendebatkan Isi Pikiran

Gambar
OMAHLORETAN - Coba saja kita begitu intim dengan perdebatan pikiran dalam lingkup kecil. Kelompok, komunitas, organisasi kantor, divisi, bahkan tim. Ya, meski tetap saja ada yang mesti dibayar atas pilihan pada tradisi itu. Mungkin saja kesopanan menjadi tampak begitu tereduksi. Mengingat, pikiran tak pernah mengenal kamus kata sopan dan santun. Terkadang malah justru terkesan sopan santun tampak tertelanjangi. Maksudnya begini, dalam satu hal apapun, kecil sekalipun, kita terbiasa mengedepankan argumentasi. Kita melihat problem, lantas membahasnya melalui perdebatan argumentasi dan pikiran. Melihat sesuatunya itu dengan kepala, dengan ide, dengan pendekatan yang menyeluruh. Bukan pada hal yang bersifat non- substantif. Misal, soal isu sentimen, isu perasaan, isu suka dan tidak suka. Satu hal baiknya, akan ada satu poin keputusan yang didasari konsep yang sangat matang. Satu konsep yang memiliki dasar argumen dan pikiran yang kuat. Berdasar pengalaman, ada begitu banyak poin kesep

"Manusia Indonesia" Menurut Mochtar Lubis

Gambar
Ada enam sifat "Manusia Indonesia" yang ia kemukakan saat itu. Yang kemudian, paparan pidato Mochtar Lubis itu diabadikan melalui buku berjudul "Manusia Indonesia".  Pada 6 April 1977 dalam sebuah Pidato Kebangsaan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Mochtar Lubis membuat geger kawan-kawannya. Budayawan, penulis, penyair, bahkan birokrat dan masyarakat. Ia menyampaikan dengan tegas dan lugas sifat-sifat manusia Indonesia.  Atas pidato kebangsaannya itu, muncul beragam respons di masyarakat. Ada yang pro dan ada yang kontra. Namun setidaknya, paparan Mochtar Lubis itu menjadi salah satu bahan kritik terhadap kita sebagai bangsa dan manusia Indonesia. Menjadi salah satu bahan diskusi tentang keindonesiaan kita. Terutama berhubungan dengan sikap kritis terhadap gejala sosial budaya dari masa ke masa.  Ada enam sifat "Manusia Indonesia" yang ia kemukakan saat itu. Yang kemudian, paparan pidato Mochtar Lubis itu diabadikan melalui buku berjudul "Manusia

Telepon

Gambar
Ilustrasi pribadi Kini saya hanya bisa mengakhirinya dengan ungkapan “kita hanya bisa saling memahami dengan ketidakpahaman masing-masing” Kalau sampeyan pngen tahu sekarang jam berapa? akan saya sampaikan sekarang jam 11.38. Kamis malam ini tanpa setetes air mata jatuh dari kepolosan sang langit. Disertai sayup-sayup suara sang maestro pendobrak Iwan Fals, hati ini terus bergetar tak berarah, sumpah. Kalian sebut alay terserah, yang jelas, saya merasa sangat resah.  Sebelum ini, seorang kawan tiba-tiba menelepon saya. Sudah dua kali dia mencoba menelepon. Pertama, dia menggunakan jaringan telepon, tapi hasilnya, kami ha-he ha-he gak jelas. Sebab, kekuatan sinyal tak memberi kami ruang untuk saling bertukar kabar. Sinyalnya buruk atau memang hp kami yang gak jelas. Dia tak mati akal. Kedua, ia menggunakan jaringan Whatshap. Saya pikir akan ada sesuatu yang sangat penting atau hal yang urgen akan ia sampaikan kepada saya. Sebab, sebelum ini ia tak biasa menelepon saya. Te

Hai Bandung, Hai Millea ..

Gambar
Dalam definisi saya, baik secara dekriptif maupun geografis, Bandung adalah salah satu kota yang uwuwuwu. Jangan mencari definisi uwuwuwu di KBBI, jelaslah gak ada. Tapi, bagi saya, kata ini lumayan mewakili. Dan, saya rasa butuh beberapa kata dalam bahasa Indonesia untuk menggambarkannya jika tidak memakai kata uwuwuwu. Iya, menggambarkan si Teteh Gelius Bandung ini. Itu jelas boros, lebih dari satu kata. Kata mantan yang kini sudah mau nikah (hiks) itu nggak baik. Saya ingat. Kata dan nama Bandung kali pertama saya dengar ketika di TK. Saat sekelas anak-anak kecil polos diminta saling memegang pundak temannya. Lalu, terdengar nyanyian "Naik kereta api tut tut tut.. Siapa hendak turut. Ke Bandung, Surabaya.. Bolehlah naik dengan percuma. Ayo kawanku lekas naik. Keretaku tak berhenti lama". Iya, benar dari situ. Bandung. Kenapa harus ke Bandung dan Surabaya? Kenapa naik kereta?. Lhah mbuh. Berikutnya, nama Bandung kembali terpahat di pikiran saya. Tepatnya saat SD k

Mendeskripsikan Syair, Budaya Mataraman, dan Kearifan Lokal

Gambar
Sumber: google.image.com Syair Syair dalam beberapa pengertian, diartikan sebagai salah satu jenis puisi lama yang isi muatan-muatannya mengandung ajaran Islam. Secara etimologi   syair (dalam Rosyadi 2012: 8) berasal dari bahasa Arab yaitu Syu'ur yang berarti perasaan. Kemudian kata Syu'ur berkembang menjadi kata Syir'u yang berarti puisi. Meskipun demikian dalam konteks kemasyarakatan jawa, syair memiliki pengertian yang khas dan mengacu pada sebuah bentuk akulturasi dua kebudayaan yaitu jawa dengan Islam, sehingga muncullah istilah syair dan singiran, terutama di lingkup sosial masyarakat jawa yang kental dengan nuansa agama Islam. Kemunculan istilah singiran, pada dasarnya merujuk pada istilah tembang atau lagu (dalam kebudayaan jawa) hanya yang membedakan diantara keduannya adalah isi atau muatannya yaitu penggunaan bahasa arab, dan penggunaan bahasa jawa. Artinya, syi'ir sebenarnya turunan dari istilah syair (Umum) yang dikhususkan, terutama menyan

3 Idiots, Memotivasi atau Memprovokasi?

Gambar
Ilustrasi: Poster film 3idiots. (Sumber: kompasiana) Sebuah Apresiasi Karya Sastra Berupa Film Oleh   : FERI FENORIA RIFA’I 121111070 /1/ Di era teknologi informasi dan komunikasi yang semakin berkembang, film bukan lagi menjadi sesuatu yang mewah dan luar biasa. Berbeda dengan era-era sebelumnya, film merupakan sebuah media hiburan yang diperuntukkan kepada kaum-kaum elite atau kaum menengah atas. Selain itu, film-film tersebut dipertunjukkan   dalam bioskop-bioskop yang terdapat dalam Mal di kota-kota besar sehingga terjadi kecenderungan kaum-kaum elite yang lebih sering menikmati hal tersebut. Film sendiri merupakan sebuah bentuk hiburan berupa pertunjukkan yang menggunakan gabunggan antara gambar dan suara disertai dengan visualisasi atau rekaman jejak kehidupan manusia. Di Indonesia, dunia film mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hal tersebut dibuktikan dengan pertama, jadwal pemutaran film pada gedung-gedung film atau bioskop sehari mencapai tig

Wajah Postkolonialisme dalam Cerpen "Penjaga Malam"

Gambar
Ilustrasi penjaga malam. (Sumber: kompasiana.com) Analisis Cerpen "Penjaga Malam" Karya: Eka Kurniawan             Sebagai sebuah cerpen yang masuk kedalam kategori cerpen fantastik atau kita dapat sebut sebagai cerpen yang berbau irasional atau mistis, cerpen secara umum dominan terhadap hal-hal tersebut. Kaitan dengan wajah psotkolonial dalam cerpen ini terletak pada gambaran-gambaran irasional tersebut. Argumen tersebut berdasar pada pertama, adalah mengenai pandangan oriantalisme barat terhadap timur. Seperti kita ketahui kemunculan teori ini ialah suatu bentuk keresahan orang-orang yang dalam ini adalah para warga negara yang bertindak sebagai seorang korban penjajahan tidak menemukan kenyamanan pasca penjajahan diakhiri oleh sebuah negara yang mendominasi. (Nurhadi, 2011).             Kedua adalah pemaknaan post dalam kata postkolonial sendiri. Seperti dijelaskan dalam beberapa makalah maupun buku yang memaparkan penjelasan mengenai postkolonial tel

Mengapresiasi Sastra, Cerpen 'Penjaga Malam' Karya Eka Kurniawan

Gambar
Eka Kurniawan. (Sumber: detik.com) APRESIASI SASTRA Cerpen ‘PENJAGA MALAM’ Karya: Eka Kurniawan Oleh : FERI FENORIA RIFA’I 121111070 /1/ Cerpen merupakan bagian dari genre prosa. Prosa sendiri merupakan salah satu genre dalam dunia kasusatraan Indonesia yang memiliki cirri kebahasaan yang bebas dan terurai, bebas dan terurai disini diartikan sebagai bentuk ungkapan nilai estetika (ciri utama kebahasaan sastra) dan ungkapan ketidaklangsungan berupa bentuk narasi bahasa yang terurai dalam strukturnya. Berbeda dengan ciri genre sastra yang lain seperti puisi dan drama. Puisi memiliki cirri kebahasaan yang dipadatkan dalam struktur badannnya atau dapat disebut pula bahasa yang dimampatkandalam beberapa kata dana kalimat yang sederhana. Begtu pula dengan genre sastra drama. Struktur drama memiliki ciri kebahasaan berupa adanya dialog, stage direction dan keterangan adegan atau kramanggung. Dari ketiga genre kesusastraan Indonesia tersebut, dalam hal ke