Mendeskripsikan Syair, Budaya Mataraman, dan Kearifan Lokal
Sumber: google.image.com |
- Syair
Syair dalam
beberapa pengertian, diartikan sebagai salah satu jenis puisi lama yang isi
muatan-muatannya mengandung ajaran Islam. Secara etimologi syair (dalam Rosyadi 2012: 8) berasal dari
bahasa Arab yaitu Syu'ur yang berarti perasaan. Kemudian kata Syu'ur berkembang
menjadi kata Syir'u yang berarti puisi. Meskipun demikian dalam konteks
kemasyarakatan jawa, syair memiliki pengertian yang khas dan mengacu pada
sebuah bentuk akulturasi dua kebudayaan yaitu jawa dengan Islam, sehingga
muncullah istilah syair dan singiran, terutama di lingkup sosial masyarakat
jawa yang kental dengan nuansa agama Islam.
Kemunculan
istilah singiran, pada dasarnya merujuk pada istilah tembang atau lagu (dalam
kebudayaan jawa) hanya yang membedakan diantara keduannya adalah isi atau
muatannya yaitu penggunaan bahasa arab, dan penggunaan bahasa jawa. Artinya,
syi'ir sebenarnya turunan dari istilah syair (Umum) yang dikhususkan, terutama
menyangkut dengan bentuk akulturasi ajaran dalam kebudayaan jawa yang di Islamkan.
Pada awalnya masyarakat jawa adalah komunitas masyarakat yang berpaham
animisme, kemudian masuk agama hindu, budha dan terakhir agama Islam. Melalui
proses tahapan-tahapan pengaruh agama-agama itulah kebiasan masyarakat jawa
sekarang memiliki identitas sendiri yang mandiri, meskipun pada awalnya identitas-identitas
tersebut berasal dari agama (Pakem). Termasuk salah satunya mengenai fenomena singiran
atau melantunkan syair.
Secara
kesejarahan, kebudayaan jawa awalnya telah memiliki kebiasaan semacam singiran,
yaitu pujian atau nyanyian (tembang) yang dilantunkan dengan maksud
menyampaikan ajaran-ajaran agama (ajaran agama hindu dan budha), lalu melalui
kepiawaian para leluhur terutama para wali sangga sebagai penyebar agama Islam
di jawa, fenomena tersebut berevolusi menjadai sebuah bentuk dari akulturasi
kebudayaan dengan mempertahankan kebiasaan lama namun secara langsung dan tidak
langsung serta secara sadar dan tidak sadar memuat nilai-nilai agama Islam
berupa singiran atau pujian.
- Kebudayaan Mataraman
Kebudayaan Mataraman
merupakan salah satu pembagian kebudayaan di Jawa Timur. Wilayah jawa timur
sendiri terletak di pulau jawa bagian timur. Meskipun secara umum pulau jawa
didiami oleh suku jawa, di beberapa bagian pulau jawa juga terdapat suku luar
jawa seperti suku sunda, suku madura, dan lainnya. Seperti halnya di jawa timur,
wilayah jawa timur secara kultural masuk dalam kategori kebudayaan mataraman,
atau dapat di sebut sebagai bagian dari orang-orang yang memiliki aktivitas
serta kebiasaan yang sama dengan masyarakat mataram atau jawa tengah. Namun
akibat letaknya di bagian Timur Pulau Jawa dan di sekitarnya terdapat suku atau
kebudayaan yang berbeda seperti Bali, Madura sehingga di Jawa Timur tidak
seluruhnya masuk kategori kebudayaan mataraman, namun terbagi menjadi 10
kelompok kebudayaan salah satunya kelompok kebudayaan mataraman tersebut.
Secara
geokultural kebudayaan mataraman meliputi wilayah Pacitan, Madiun, Magetan,
Ngawi, Nganjuk, Trenggalek, Tulungagung, Kediri (sebagian) dan Blitar. Sebagai
kelompok kebudayaan mataraman, wilayah-wilayah tersebut memiliki hubungan, baik
segi kesejarahan, tradisi, kesenian, dan karakter. Sebagian besar masyarakat
dalam kelompok kebudayaan mataraman bermata pencaharian sebagai petani. Karena
secara geografis masyarakat tersebut berada di lingkungan geografis yang subur.
Kebudayaan Mataraman memiliki karakteristik santun, sabar, paternalistik,
aristokrat.
- Kearifan Lokal (Local Wisdom)
Sebagai
masyarakat sosial, kebutuhan manusia satu dengan satu untuk melakukan interaksi
dalam berkehidupan menjadi sebuah kebutuhan yang pokok. Akibat interaksi-interaksi
yang dilakukan secara teratur, konsisten dan terus menerus, manusia membentuk
sebuah pola aktivitas bermasyarakat yang kemudian menjadikan aktivitas tersebut
sebagai identitas atau ciri dari kelompok masyarakat yaitu kebudayaan.
Kebudayaan
dalam sudut pandang masyarakt komunal, mengarah pada hukum atau system yang
secara tidak sadar mengatur dan membimbing masyarakat untuk berkehidupan, baik
berkehidupan dengan alam, manusia, dan dengan Pencipta. Maksud dari kehidupan
disini adalah, tidak hanya sekadar menyambung umur, menurunkan generasi maupun
mendapatkan eksistensi, melainkan berkehidupan dalam upaya menciptakan sebuah
peradaban atau masyarakat yang berkebudayaan tinggi. Meskipun berpacu dengan
perubahan soaial, alam, dan kontak kebudayaan luar.
Bentuk
interaksi dalam masyarakat komunal, pada dasarnya berusaha membentuk
kebudayaan. Apabila pola interaksi masyarakat tersebut dilakukan secara terus
menerus, secara tidak langsung terselip nilai dan norma yang terbentuk akibat
pola interaski yang dilakukan secara sengaja maupun tidak sengaja. Yang selanjutnya nilai-nilai tersebut
menjelma menjadi sebuah kearifan lokal.
Kearifan local
atau local wisdom dalam kacamata antropologi dikenal istilah local genius
sebagai sinonim dari kearifan lokal. Local genius ini merupakan istilah yang
pertama diperkenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog membahas aecara
panjang lebar pengertian local genius ini (lihat Ayatrohedi, 1986: 18-19).
Antara lain Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural
identity, identitas/ kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa
tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan
kemampuan sendiri (Ayatrohedi, 198:18-19). Sementara moendardjito (dalam
Ayatrohedi 1986: 40-41) mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local
genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang.
Ciri-cirinya adalah:
- Mampu bertahan terhadap budaya luar
- Memiliki kemampuan mengakomodasi
unsusr-usnsur budaya luar
- Mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur
budaya luar ke dalam budaya asli
- Mempunyai kemmpuan mengendalikan
- Mampu memberi arah pada perkembangan
budaya
Berbagai
pengaruh yang ditimbulkan saat ini, seperti halnya globalisasi menjadikan
masyarakat bergeser. Seperti halnya
fakta tentang masyarakat Blitar yang menjadi objek penelitian dalam penelitian
ini. Beberapa hal yang terlihat adalah pergeseran cara tindak tutur anak muda dengan
oang tua serta pergeseran sikap sopan santun. Hal semacam inilah yang
seharusnya menjadi perhatian sebagai kearifan lokal masyarakat Blitar, namun
sesungguhnya upaya-upaya pemertahanan tersebut telah dilakukan dari konsep yang
diturunkan oleh para leluhur yaitu salah satunya melalui aktivitas syingiran
atau pujian yang dilakukan sebelum sholat di masjid-masjid.
Referensi
Ayatrohedi, 1986, Kepribadian
Budaya Bangsa (Local Gebius), Pustaka Jaya, Jakarta
*) Tulisan ini merupakan salah satu bagian dari makalah Peserta Seminar Nasional Kebudayaan di Universitas Udayana Bali.
*) Tulisan ini merupakan salah satu bagian dari makalah Peserta Seminar Nasional Kebudayaan di Universitas Udayana Bali.
Komentar
Posting Komentar
Salam kenal 😊 Terima kasih sudah berkomentar. Sering-sering mengecek postingan terbaru dari www.omahloretan.blogspot.com yaa 😊