Postingan

Menampilkan postingan dengan label Puisi

Bahagialah

Gambar
OMAHLORETAN - Berdiri di atas dunia ini memang sulit Berada di antara berjuta manusia pasti sakit Melanjutkan hidup adalah pilihan Bahagia itu suatu keharusan Kalau suatu hari ada bagianmu yg sakit, kalau suatu saat ada dibagianmu yg hilang. Jgn selalu salahkan diri ya syg... Itu bentuk dunia menempa manusia. Dgn berbagai cerita dan gayanya yg unik pada tiap insan. Syg, jgn merasa sendirian... Ada kok tempat untuk pyn selalu bersandar walaupun kursi itu terkdang tak nyaman. Ada kok tempat untuk pyn pulang, walau terkdang rumah itu tak sepenuhnya melindungi. Sayang... Adanya pyn menjadi aktor dunia bukan tanpa alasan yg g jelas dari tuhan. Pyn hanya perlu biasakan bahwa peran yg pyn emban sekarang adalah peran yg penuh tantangn.  Besarkan hati, lapangkan sabar, cintai diri pyn semaksimal mungkin ya. Berterimakasih pada diri pyn yg sudah membawa pyn dalam level film layar lebar kehidupan hingga seperti saat ini. Bersedih, merenung, tumpahkan semuanya ke aku . Tak apa... Aku selalu ada un

13 Menit setelah 2022 Berakhir

Gambar
OMAHLORETAN - Sebelum saat ini, Malam begitu menyengat Senja terlampau terbata-bata Hati pun terkunci untuk terisi Kemudian, Juni memberiku kunci Aku mengenalmu Di antara kata-kata yang nyaring bersuara Tentangmu Tentang dia Tentang mereka Tentang kita Lantas,  Kita cicipi mie ayam di sebelah balai kota Sekali Dua kali Dan seterusnya Kau ternyata ku kenal Seolah begitu jauh Semacam sudah sangat lama Serupa melihat sebingkai cermin Serupa, seirama Hingga ku menunduk Meminjam namamu dalam doa-doa Untuk Sang Pencipta Cinta, terima kasih sudah hadir Dalam kekelamanku di tahun 2022 Aku bersyukur mengenalmu Berteman denganmu Dan sangat bersyukur menjadikanmu  Ibu bagi anak-anakku kelak Tentu aku juga bersyukur Tuhan memberiku kesempatan, Kemudahan Dan beragam momen Hingga pandangan kita bertemu Tutur kita saling menyapa  Sampai jemari kita saling mencengkrama Semakin bercengkrama Aku kian melihat masa depan di matamu Tentang kita Tentang keluarga Tentu tentang semuanya  Di ujung tahun 2022 A

Puisi: Banjir Bandang

Gambar
OMAHLORETAN -   Kabut dalam mata Namanya, masa lalu Mengejang di pelupuk Mencipta samar & ragu Mengirim banjir bandang Kebimbangan Disertai lumpur-lumpur Ketakutan & Kepasrahan Mengantarkan Aroma-aroma rindu Dari dedaunan & bunga Di Pulau Masa Lalu Lupakan, Kini sudah tidak ada waktu

Puisi: Waktu Berkomedi

Gambar
OMAHLORETAN - Tak pernah ada janji Kita yang kini berdua berdiri Untuk saling menghapus sepi Waktu tampak begitu lucu Saat jeda memulai peraduan itu Seberdiri gedung yang kali kesekian menjadi saksi bisu romansa dua manusia. (Foto: Janur Tirta) 

Puisi: Dunia Merindu Senja

Gambar
LANGIT senja di antara kebisingan kota. (Foto: Dok Pribadi)  Tak pernah benar ada yang serupa dengan senja di dunia Keseimbangan yang begitu anggun Matang dan kuat Kesayupan yang tak mematikan Temaram yang mencerahkan Tak pernah ada sepi dalam kesepian Dunia begitu merindu pasti Memilih gelap tak terlihat Atau terang jadi sorotan Tak lagi ada manusia Yang ada hanya kamu siapa Seberapa dan seperti apa Kehidupan menjadi kerdil Serupa kotak make up Untuk panggung dan sandiwara Tinggal kita, Berbondong-bondong menunggu waktu Menunggu peluit akhir pertandingan Dengan mengejar kalah dan menang Yang keduanya tak pernah benar-benar ada A n dai kita bisa serupa senja Menyeimbangkan hidup Di tengah hidup yang berlari menuju carut-marut

Puisi: Yang Lalu

Gambar
JENDELA kantor di sebuah pagi yang syahdu menggebu. (Foto: Dok. Pribadi)  Ada yang selalu tertinggal Dalam bait-bait perjalanan Tersangkut pada ketidaksengajaan Yang sebenarnya adalah kesengajaan Dari Sang Pemberi Hidup Masa depan, jugalah itu Soal mereka dan apa yang tertinggal itu Selalu,  Begitu, kata mereka,  Pun katamu Berikutnya, adalah soal ketakutan Antara kebesaran hati dan kerelaan Yang lebih tepatnya lagi soal kita Aku dan kamu Kita dan itu semua Bagaimana dan seperti apa melihatnya Kita yang dulu bersama Atau?  Kita yang dulu tak semestinya bersama

Puisi: Senja

Gambar
Senja kembali bersolek Membuat linglung Insan-insan yang ingin menghentikan waktu, Memapah mereka kepada ke-antara-an Ujung waktu yang tak terburu-buru Keindahan itu benar menghunus Melesat dalam ruang-ruang tak beraksara Membuat jeda yang terbata-bata Mereka tak pernah sadar Bahwa ada saling ungkap dalam diam Ada ucap yang saling tatap Di antara tulus dan jujur Namun, definisi itu begitu terbatas Termasuk realitas itu sendiri Pada akhirnya, mereka menyerah Memilih tengelam Terlelap oleh waktu yang kelu Sampai keduanya bertemu Memulai satu perkenalan baru Saling mengenal dengan tatapan malu-malu

Puisi: Mereka, Biarlah Biar

Gambar
Dalam keramaian, Kita mengeja dunia kita sendiri Yang tak mengenal hohohihe media sosial Apalagi kesibukan pejabat menata panggung Aku hanya ingin mengajakmu Ya, mengajakmu Mencecap kesepian dalam keramaian "Kau terlalu melankoli" Katamu Mungkin saja, Atau, narasi yang terlalu definitif? Entahlah, Setidaknya aku mencari sesuatu "Lalu, kenapa kau mengajakku? Katamu lagi Sederhana, Karena aku memang mencarimu Dan, yang kucari selama ini Itu saja Ya, benar itu saja "Tanpa alasan lain? Tanyamu lagi Terlalu beralasan, terkesan transaksional Bukankah cinta tak perlu banyak karena? Malam ini, aku ingin bersamamu Itu saja, Sampai nanti Semoga kelak, Kita tak pernah saling mencari kembali Cukup hari ini Biarkan, mereka

Puisi: Mencumbu Jeda

Gambar
Dan, saat ini masih ada muram di antara kita Memaksa ada jarak Menepi Memberi ruang untuk berkontemplasi Sebelumnya, Kau dan aku begitu membenci jarak Tak pernah ada tempat untuk kita saling melepas Dalam napas sekalipun Namun, kehidupan tetaplah kehidupan Yang terkadang Selalu ada banyak cara menyerah pada lupa Berpikir untuk tak pernah benar-benar berpikir Dan, akhirnya Dalam itu tak cukup di bawah permukaan Seremonial itu sangat rapuh Tanpa ada kesadaran Ia hanya bisu dan kosong yang mengulang Kita akan tetap bertemu Dan akan lebih mahir mencumbui pertemuan Ku harap kau siap menemuiku

Puisi: Indonesiaku

Gambar
Sebelum ini... Kami mengenalmu di pagi yang buta Kami melepasmu di senja yang merona Pada gelap,  kau terjaga... Menjaga putra putrimu yang sering lupa Indonesiaku.. Tahu,  kami .. Sabang adalah perkasanya tangan kananmu Merauke,  kukuhnya tekad di tangan kirimu Miangas adalah kepalamu yang lugu, namun tak palsu Dan, Rote, kaki-kaki tekadmu yang menyokong kewibawaanmu Indonesiaku.. Kami setuju.. Bahkan sangat sepakat dan sangat setuju Kau begitu jelita.. Kau begitu rupawan... Dan, anggapnya khalayak, Kau sungguh menawan.. Bak potongan surga yang diciptakan Namun,  Indonesiaku... Putra-putrimu mulai lupa, Mulai berkerah hanya untuk kepalsuan Bahkan,  menyulut kesakitanmu melalui kebanggaan dan kesengajaan Indonesiaku.. Kami rindu,  Kami termangu di ujung jendela dengan rintik hujan yang merdu Beberapa mata kami tiba-tiba berair, Dengan mulut yang berkatup dan hati yang meletup Indonesiaku... Maklumkanlah... Beri kejernihan pada pikiran dan hat

Puisi: Kepala-kepala Manusia

Kuberjalan pada jalan setapak Di sekelilingnya terlihat kepala-kepala manusia Tercecer pula darah-darah segar Yang meliuk-liuk dijalanan basah Matanya melotot Dia melototiku Hingga aku ragu untuk melewati jalan itu Aku tak mungkin kembali sebab dibelakang, terlihat kawanan malam yang mencekam Aku harus berjalan Terus melanjutkan perjalanan Saat pikiran berusaha menerka-nerka Kurasakan kaki tercengkeram oleh tangan Kulihat tangan keluar dari tanah-tanah yang subur itu Dia menahanku Tak sedikitpun membiarkanku bergerak Kepala-kepala itu tiba-tiba meloncat Mendekat sembari terus melotot dengan picik Tak pernah ku sangka berikutnya Tangan-tanganku tak bisa kugerakkan Dia hidup tanpa persetujuanku Lantas ia raih satu kepala yang berkelebat di belakangku Aku sempat bertanya Kenapa meraih kepala itu Kulihat pula aku tak merasa kenal Tak pernah melihat dia sebelumnya Lantas tangan kiriku berusaha mencongkel matanya Hingga sangat kasar Mata itu pun tak berupa

Puisi: Pulang

Rumahku mulai lapuk Tanahnya mulai gersang Daunnya mulai menguning Jalanan setapak mulai tak tampak Menjelma jalanan besar yang sepi Tangan-tangan tak lagi melambai Ia bersembunyi di saku-saku celana yang hangat Suara-suara tak lagi terdengar Ia tertelan pada dinding-dinding Lantas menggema pada ruang-ruang nurani Rintik hujan tak lagi bersuara Ia lenyap di telan kosong Di telan pikiran yang tak dipikirkan Kambing pun tak lagi liar Ia mematung dan terdiam Terkatup menelan kepedihan Sangat sekali aku sesalkan Aku ingin pulang Sangat ingin pulang Bukan pergi ke tempat yang tinggal bisa ku kenang Tapi aku ingin pulang Ke tempat lugu yang tak ada hantu