Telepon

Ilustrasi pribadi


Kini saya hanya bisa mengakhirinya dengan ungkapan “kita hanya bisa saling memahami dengan ketidakpahaman masing-masing”




Kalau sampeyan pngen tahu sekarang jam berapa? akan saya sampaikan sekarang jam 11.38. Kamis malam ini tanpa setetes air mata jatuh dari kepolosan sang langit. Disertai sayup-sayup suara sang maestro pendobrak Iwan Fals, hati ini terus bergetar tak berarah, sumpah. Kalian sebut alay terserah, yang jelas, saya merasa sangat resah.
 Sebelum ini, seorang kawan tiba-tiba menelepon saya. Sudah dua kali dia mencoba menelepon. Pertama, dia menggunakan jaringan telepon, tapi hasilnya, kami ha-he ha-he gak jelas. Sebab, kekuatan sinyal tak memberi kami ruang untuk saling bertukar kabar. Sinyalnya buruk atau memang hp kami yang gak jelas. Dia tak mati akal. Kedua, ia menggunakan jaringan Whatshap. Saya pikir akan ada sesuatu yang sangat penting atau hal yang urgen akan ia sampaikan kepada saya. Sebab, sebelum ini ia tak biasa menelepon saya. Terutama saat malam seperti ini.
Suaranya terdengar berat saat membuka perbincangan. Kami berbicara tanpa prolog basa-basi yang tak penting. Kami tak saling menyampaikan kabar. Apalagi pencapaian kesuksesan yang masing-masing sudah diwujudkan. Saya juga kaget, ada apa gerangan suaranya terdengar sangat berat. Apakah dia menangis? saya kira tidak. Setelah berucap halo, saya jawab halo. Ia pun bergumam lantas saya terdiam dan menyimak.
Pagi itu matahari begitu cerah. Suara-suara kokokan ayam menyeringai menghias di langis-langit dapur yang berasap. Segelintir rokok lantas ia nyalakan sambil menjaga nyala api dalam tungku. Tanpa suara ia memandang bara api dalam tungku. Ia sedikit tersenyum. 
Matanya mendelog dan berbinar menyaksikan bara-bara itu memanasi tubuhnya yang kurus. Di depanya, tegak berdiri seorang perwira TNI yang gagah dan sombong. Sesekali senyumnya berganti pahit saat seorang perempuan setengah usia berjalan di sampingnya. Matanya kembali kepada bara api yang sebentar lagi mengisi perutnya untuk mengatupkan mulut-mulut kritikus tradisional. Ia kembali tersenyum, lantas bergegas melakukan kesehariannya menjadi petani muda yang kebal umpatan dan diumpati.
Sebelum hari itu, ia bersandar pada selonjor kursi kayu di ruang tamu. Matanya sibuk memperhatikan sebuah perangkat komunikasi pemberian kakeknya. Ya, kakeknya, orang tua yang biasa duduk di teras rumahnya itu. Dia adalah satu-satunya obat penawar ketidakadilan yang ia rasakan. Ia pun tiba-tiba berbinar, tersenyum, bergairah, dan terbangkit. Sambil membenarkan posisinya, ia binasakan segala sesuatu di sekitarnya. Termasuk orang-orang dekatnya yang ikhlas memsberi ketenteraman meski berwujud kemurkaan.
Perangkat komunikasinya tiba-tiba bersinar, sesekali berkedip-kedip dan bersuara notasi standar telepon genggam. Ia perhatikan media sosial di sana. Beberapa teman SMA-nya tanpa sengaja berkumpul dan saling menyapa di wadah itu. Ia pun semakin bergairah. Seakan ia menemukan oase di tengah-tengah keheningan hidup yang semakin tak manusiawi. Ia menemukan setumpuk tenaga yang sudah lama menghilang dan tak berupa.
Berbagai candaan dan guyonan terlontar dari masing-masing penghuni grup. 
Mereka saling mengingatkan, mengungkapkan, dan menjatuhkan untuk sekadar mengembalikan keakraban. Banyak di antara mereka yang membuka memori lama saat SMA. Ada yang suka dihukum, sering pacaran, sering diremehkan, hingga di buli. Lambat laun, senyumnya terlihat kecut, masam dan tak terduga. Ajang reuni via media sosial bergeser menjadi ajang nonsense. Moment itu kemudian menjadi ajang pembuktian. Padahal, sebelumnya tempat itu adalah ajang mengenang dan membangun keakraban kembali.
Namun, itulah kehidupan. Yang dengan mudah dan seenak udelnya bermanuver menjadi hal yang sangat menjengkelkan. Termasuk yang ia alami saat itu. Awalnya, ia seolah mendapatkan kesegaran, kekuatan, dan kebahagiaan. Namun, yang ia dapt hanya kegelisahan serta menambah deret panjang keresahan hidup. Sejenak ia termenung dan berpikir, jika kebersamaan adalah kesenangan, ia berteriak menolak. Sebab, kebersamaan memberikan banyak kedendaman, pikirnya.
Pie kabarmu ?
Apik… wah selamat … tambah sukses kancaku saiki.. apik mestian kabar e…i
Ik sek bertugas neng luar negeri aku, awakmu saiki neng ndi?
Halaah… ng ndi? ng kene wae,
Ng ndi?
neng omah, sawah, neng ndi lah lah
lAH…. Neng sawah …. kog gak enek perkembangan ngene awakmu?
Halaah yo mong iso ngene , piye maneh, yo leg awkmu wes sukses…..
wes rabi op rung? ….
Durung….. orong wani….
lah…. mosok rung rabi? lanang po wedok we i ….
jek panggah banci op gak? saiki heheh….
lanang tenan i
tenane lanang tenan……? hehehe
Lanang tenan i …..
Tenane……?
Tenan le, geot op pie…. wani gelot i
Weh …. aku ra wani … wes tuwek ….
iyo gelot tenani,  entenono aku cuti.
Ia pun terdiam, lantas kembali menyapa Halo… lalu saya jawab pula halo…..
Saya dengar ia kembali tak bersuara.
Saya merasa bahwa keresahan merupakan keabstrakan yang nyata seperti yang tak bisa disampaikan dalam kenangan yang ia kisahkan itu. Saya dengar dia tak percaya kebertemanan yang kental saat SMA itu menjadi sepicik ini hanya untuk hal meterial yang kosong.
Sebab, ia sangat jelas mengingat dia dulu merupakan seorang yang
bencong. Apa itu salah? Namun, sejauh kesuksesan yang ada didepannya diraih, pembuktian dengan berbau unsur pembalas dendaman tetap bergema dalam khayalannya. Dia tetap tak merelakan kesakitan dalam kenangan indah berbingkai anti kepalsuan yang hanyut diterjang kesalahpahaman berbingkai kerinduan.
Setarakah itu? pertanyaan yang kini merasuk dalam otaknya. Ia juga intim bernegosiasi dalam kepasrahan membiarkan kebusukkan menuntun ketidakbahagiaan dalam lamat-lamat penegadahan. Namun, seketika ia kembali bergumam dan sedikit lega bahwa di balik itu masih ada seorang kawan yang mendengar keresahan tanpa sedikit memberikan beban. Lantas, saya menepuk pundaknya dan lekas berkata cukup, biarkan waktu yang saling memberikan jawaban. Telepon kami pun putus. Suara putus-putus tiba-tiba datang menyerigai dan tak berupa.

Kini saya hanya bisa mengakhirinya dengan ungkapan “kita hanya bisa saling memahami dengan ketidakpahaman masing-masing” Sebab, percayalah, manusia adalah makhluk haus kasih sayang yang mengemis eksistensi. Segeralah menjemput masa lalu dengan lambaian tangan menggengam. Kan kau dapati sedikit harap dalam keperkasaan.

Komentar