Hai Bandung, Hai Millea ..


Dalam definisi saya, baik secara dekriptif maupun geografis, Bandung adalah salah satu kota yang uwuwuwu. Jangan mencari definisi uwuwuwu di KBBI, jelaslah gak ada. Tapi, bagi saya, kata ini lumayan mewakili. Dan, saya rasa butuh beberapa kata dalam bahasa Indonesia untuk menggambarkannya jika tidak memakai kata uwuwuwu. Iya, menggambarkan si Teteh Gelius Bandung ini. Itu jelas boros, lebih dari satu kata. Kata mantan yang kini sudah mau nikah (hiks) itu nggak baik.

Saya ingat. Kata dan nama Bandung kali pertama saya dengar ketika di TK. Saat sekelas anak-anak kecil polos diminta saling memegang pundak temannya. Lalu, terdengar nyanyian "Naik kereta api tut tut tut.. Siapa hendak turut. Ke Bandung, Surabaya.. Bolehlah naik dengan percuma. Ayo kawanku lekas naik. Keretaku tak berhenti lama".

Iya, benar dari situ. Bandung. Kenapa harus ke Bandung dan Surabaya? Kenapa naik kereta?. Lhah mbuh.

Berikutnya, nama Bandung kembali terpahat di pikiran saya. Tepatnya saat SD kelas IV (empat) di SD Islam Babadan. Sebut merek wkwk. Itung-itung salah satu kontribusi promosi dari alumnus.

Saat kelas itu, terutama mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), ada tugas murid wajib hafal nama provinsi beserta ibu kotanya. Ya, dari situ pulalah, saya memiliki tambahan pengetahuan tentang Bandung. Ternyata ia adalah ibu kota dari Jawa Barat.

Hingga akhirnya menginjakkan masa kuliah dan bertemu dengan novel karya Pidi Baiq berjudul Dilan. Bandung kian membuat saya penasaran. Ia menjelma menjadi sesosok perempuan yang menarik, pikir saya.

Penuh misteri, anggun, romantis dan penuh kejutan. Sekiranya itulah yang dapat saya tangkap dalam kenangan-kenangan saat mengeja nama Bandung dalam setiap diskusi,obrolan, serta bacaan. Sampai saya benar-benar berkesempatan main ke sana. Ya, ke Bandung.

Selasa pagi (2 Juli 2019) saya berangkat dari Surabaya menuju Bandung. Dari Terminal 1 Bandara Internasional Juanda menuju Bandara  Internasional Husein Sastranegara.

Dengan naik NAM Air, salah satu anak maskapai dari Sriwijaya Air,waktu tempuh untuk sampai tak lebih dari dua jam. Berangkat pukul 07-an sampai Bandung pukul 09 kurang. Saya naik pesawat model ATR-72.  Kalau saya nilai, meski kecil mirip bus, pesawat ini lumayan nyaman. Pendaratan pun terasa enak.

Setiba di Husein Sastranegara, saya menunggu kabar. Mengingat, tujuan ke Bandung ini adalah melakukan peliputan tentang Program Nasional Citarum Harum melalui KKN (Kuliah Kerja  Nyata) UNAIR.


Kenapa menunggu, karena acaranya sebenarnya esoknya. Tapi, nggak mungkin, tiba pagi dan gak ngapa-ngapain menunggu esoknya. Ditambah, jadwal dan agendanya belum fix, hanya dikasih tiket pesawat dan hanya diminta standby di Bandung. Dhal.. Ra urusan. Silak pengin ketemu Millea jare.

Akhirnya, saya melakukan janjian dengan koordinator dosen pendamping KKN Citarum. Untuk membuat agenda bertemu dan berdiskusi soal kegiatan KKN Citarum itu. Saya pelajari kira-kira kelak bahan yang menarik untuk diangkat dalam sebuah berita apa saja.

Dalam suasana menunggu kesediaan waktu itu, saya mengamati dan mempelajari hal-hal yang ada di Bandara Husein Sastranegara. Saya mulai mendengar nada-nada cengkok berbicara yang berbeda. Ada penekanan-penekanan yang dilakukan saat bicara.

Itulah cengkok bicara khas Sunda. Ya, sangat menarik. Dari situ, saya jadi kian sayang pada negara ini. Negara beraneka rupa dan warna bernama Indonesia. Selama di sana, saya mendapati kesan Bandara Husein Sastranegara terlihat lolong, sepi.

Lalu, karena cukup lama saya menunggu dan tak ada respons, saya memutuskan untuk segera pergi dari bandara. Menuju Cihampelas, ke hotel tempat untuk menginap.

Langsung saya menuju sebuah stan jasa antar online Grab. Ini cukup menarik. Mengingat di Surabaya, Grab dan Go-Car sangat dilarang masuk wilayah bandara. Kecuali mengedrop penumpang atau menurunkan saja. Tidak menarik penumpang.

Lha ini, di Bandung malah ada stannya. Dan, ada cewek cantiknya yang berjaga lagi. Hmmm. Saya langsung menuju ke situ.

"Permisi, Teh.. Dari sini bisa mesen grab yak?"
"Oh.. Iya kang. Bisak. Tapi, untuk Grab car. Kalo Grab bike mah, gak bisak. Harus jalan kaki dulu keluar area sini"
"Area yang dibolehkan, Grab bike masih jauh yak?"
"Yah, lumayan. Dari sini, Akang lurus, sekitar 300 meter"

Dari obrolan itu, ada kesan bagaimana Indonesia itu memang kaya akan perbedaan. Ditambah, tetehnya yang jaga stan cantik khas Sunda pula. Wah.. Bandung dalam kesan yang saya terima itu masih sama, sementara sesuai ekspektasi saya.

Selanjutnya, saya mengecharge smartphone. Ternyata aplikasi grab saya minta diupdate. Dan, memori saya minim. Duhkah. Akhirnya saya mesti melakukan pengapusan sejumlah aplikasi. Terpaksa canva saya hapus agar saya bisa segera keluar dari area bandara.

Saya memilih pakai Grab Bike. Gak punya uang?

Ya,  kali ini saya milih sepeda motor. Saya pengin tahu dan bisa merasakan bagaimana Bandung ini. Saya berharap diajak Bapak Grab lewat gang-gang kecil. Istilahnya dalam orang Jawa nerabas.

Konsekuensinya, saya harus jalan kaki sejauh 300 meter. Bagi saya yang juga alumni peraih brevet penjelajah 70k KM Bakung-Lodoyo, ini mah cipil wkwk. Gak terasa. Mungkin yang agak terasa sendirinya ini, hiks, tanpa ada kamu di sampingku. Hmmm

Benar, saya bertemu dengan bapak Grab yang baik. Namanya saya lupa, lupa untuk mencatat. Tapi, kalau pun saya catat, tetap namamu yang selalu saya ingat. Yah...

Bapak Grabnya ini ternyata bukan asli Bandung. Ia adalah orang Makassar. Saya tanya, di Bandung biaya hidup bagaimana? Kata bapaknya lumayan murah. Terus, dia juga bercerita di Bandung kalo siang dan jam-jam sibuk macet banget.

Saya langsung mengiyakan. Dalam obrolan dan perjalanan itu, saya menyaksikan sendiri bagaimana macetnya Bandung. Dan, saya rasa bisa dikatakan agak ruwet. Bersesak-sesakan. Sesak-sesakannya agak ngawur.

Di beberapa sudut kota, terlihat ikon patung-patung macan. Kalau orang Bandung menyebutnya Maung. Ini pasti gara-gara sejarah dan legenda tentang Prabu Siliwangi dan macan-macannya, pikir saya.

Dalam perjalanan itu, saya tak memikirkan Bandung yang romantis. Karena kondisi yang saya alami kayaknya. Bapak Grab juga aktif memberikan penjelasan terkait tempat yang kami lewati karena ia tahu saya dari Surabaya, orang asing.

Ia juga kemudian merekomendasikan sejumlah tempat menarik. Tapi,  saya katakan,  waktu di Bandung mepet alias sedikit. Gak nutut. Akhirnya saya sampai di Cihampelas.

Langsung to the point ya,  malamnya saya nongkrong makan di pinggir jalan dekat cihampelas.  Makan nasi goreng sembari mengamati sekitar.  Saat itu bertepatan pada malam minggu,  jadi suasana tampak begitu ramai.

Maksudnya langsung dari akang pakai rombong alias gerobak.  Benar,  saya melihat banyak Milea.  Perempuan bandung memang khas.  Stylist dan bening-bening.

Dalam tongkrongan di bawah pohon di pinggir jalan itu,  saya mencoba membayangkan kisah Dilan serta Milea yang menarik.  Dan akhirnya,  saya mengatakan Bandung memang menarik,  khas.  Dari situ saya menjadi kian cinta pada Indonesia. Serta saya bersyukur bisa berjumpa dengan Bandung meski tidak dalam waktu lama.  Dan berkenalan denga Milea, sang penakluk Dilan,  laki-laki.



Komentar