Renung: Mendebatkan Isi Pikiran


OMAHLORETAN - Coba saja kita begitu intim dengan perdebatan pikiran dalam lingkup kecil. Kelompok, komunitas, organisasi kantor, divisi, bahkan tim.

Ya, meski tetap saja ada yang mesti dibayar atas pilihan pada tradisi itu. Mungkin saja kesopanan menjadi tampak begitu tereduksi.

Mengingat, pikiran tak pernah mengenal kamus kata sopan dan santun. Terkadang malah justru terkesan sopan santun tampak tertelanjangi.

Maksudnya begini, dalam satu hal apapun, kecil sekalipun, kita terbiasa mengedepankan argumentasi. Kita melihat problem, lantas membahasnya melalui perdebatan argumentasi dan pikiran.

Melihat sesuatunya itu dengan kepala, dengan ide, dengan pendekatan yang menyeluruh. Bukan pada hal yang bersifat non-substantif. Misal, soal isu sentimen, isu perasaan, isu suka dan tidak suka.

Satu hal baiknya, akan ada satu poin keputusan yang didasari konsep yang sangat matang. Satu konsep yang memiliki dasar argumen dan pikiran yang kuat.

Berdasar pengalaman, ada begitu banyak poin kesepakatan yang didasari hal non-substantif di lingkup-lingkup kelompok seperti organisasi di dalam kantor-kantor. Misalnya, populisme, tren, dsb.

Memang, itu juga penting. Namun, memberikan porsi yang dominan pada hal itu juga bukan keputusan yang tepat. Meski, bakal tumbuh kekuatan solidaritas secara kuantitas.

Itu menjadi sangat penting untuk dikurangi, bahkan sebisa mungkin dihapuskan dalam tradisi berorganisasi dalam bangsa kita. Sebab, yang ditakutkan adalah terpupuknya tradisi tidak berargumen dan berpikir jernih dalam kehidupan kita.

Ujungnya, tatanan sosial tak pernah terkreasi dari pikiran dan kematangan argumentasi. Yang berakibat pada adanya kerapuhan pembangunan sosial masyarakat suatu bangsa.

Hal itu berujung pada tidak ada tempatnya argumen berbeda dalam setiap perbincangan. Kecenderungan membangun tatanan homogen menjadi seolah mutlak dibangun dan ditumbuhkan. Yang terburuk lagi, isu sentimen menjadi begitu leluasa sebagai bom waktu yang siap menghancurkan masyarakat. Dan, agenda itu, tampaknya, terus bergulir.

Itulah yang semestinya patut menjadi pertimbangan bagi kita sebagai bangsa.
Sebab, kemunduran bangsa akan tiba saat perdebatan pikiran menemui jalan buntu. Sementara, perdebatan sentimen menjadi lebih dominan. Kita hendaknya memilih tidak untuk mundur, bukan?

Komentar