Mengapresiasi Sastra, Cerpen 'Penjaga Malam' Karya Eka Kurniawan
Eka Kurniawan. (Sumber: detik.com) |
APRESIASI SASTRA
Cerpen ‘PENJAGA
MALAM’
Karya: Eka
Kurniawan
Oleh :
FERI FENORIA
RIFA’I
121111070
/1/
Cerpen merupakan bagian
dari genre prosa. Prosa sendiri merupakan salah satu genre dalam dunia
kasusatraan Indonesia yang memiliki cirri kebahasaan yang bebas dan terurai,
bebas dan terurai disini diartikan sebagai bentuk ungkapan nilai estetika (ciri
utama kebahasaan sastra) dan ungkapan ketidaklangsungan berupa bentuk narasi
bahasa yang terurai dalam strukturnya.
Berbeda dengan ciri genre
sastra yang lain seperti puisi dan drama. Puisi memiliki cirri kebahasaan yang
dipadatkan dalam struktur badannnya atau dapat disebut pula bahasa yang
dimampatkandalam beberapa kata dana kalimat yang sederhana. Begtu pula dengan
genre sastra drama. Struktur drama memiliki ciri kebahasaan berupa adanya
dialog, stage direction dan keterangan adegan atau kramanggung.
Dari ketiga genre kesusastraan
Indonesia tersebut, dalam hal kepopuleran dalam ukuran kuantitas penikmat dari
masing-masing genretersebut di masyarakat umum adalah prosa dan puisi. Namun,
jika dibandingkan lagi kedua genre tersebut ang paling popular adalah prosa.
Hal tersebut muncul tidak semata-mata muncul tanpa acuan. Pada dasarnya
kepopuleran bidang sastra dalam masyarakat umum untuk menikmati dan membaca
yang paling utama dalam kegiatan tersebut adalah aspek kemampuan pembaca untuk
mengerti dan membaca satra tersebut, artinya ketidak mampuan pembaca dalam hal
ini masyarakat untuk tidak tahu tentang sastra mengakibatkan masyarakat tidak
suka dan tidak mengonsumsi teks sastra tersebut.
Dari hal tersebut jelas kita dapat klasifikasikan
bahwa dari ketiga genre sastra ditilik dari ciri kebahasaan dapat menentukan
genre apa yang paling popular. Dari puisi, jelas puisi memiliki cirri
kebahasaan yang dipadatkan tidak masuk kategori kepopuleran dimasyarakat (bukan
berarti tidak ada sama sekali namun jumlahnya yang sedikit dibandingkan dengan
prosa) hal tersebut dibuktikan dengan minimnya atau sedikitnya peredaran
antologi puisi dibandingkan dengan produk genre sastra yang lain. Begitu pula
dengan drama. Drama sebagai produk karya sastra berupa dialog adan segala
keterangan pementasannya akan lebih banyak dinikmati masyarakat berupa
pementasannya dari pada membaca buku dramanya.
Berbeda dengan prosa,
yang memiliki cirri kebahasaan yang terurai dan bebas, prosa lebih banyak
mendapat tempat di masyarakat luas. Hal tersebut cukup terbukti dengan laju
produktifitas prosa yang berkembang di masyarakat seperti halnya munculnya
novel dan antologi cerpen yang hamper setiap tahun pasti ada produk karya
sastra berupa prosa baru. Berbeda dengan kedua genre sastra yang lain.
Pencapaian tersebut dapat
diartikan sebagai dua pencapaian yang positif dan negative. Hal positif, dapat
diartikan bahwa pencapaian itu adalah memasyarakatnya teks sastra pada
masyarakat umum, sastra yang kita artikan sebagai piwulang, pitutur, dan ajaran
kepada masyarakt pemabaca dengan perwujudan analogi penceritaan dan
ungkapan yang secara langsung dan tidak langsung berhubungan dengan masyarakat.
Hal negatifnya adalah adanya lading pencarian keuntungan dalam proses produksi
dan beredarnya karya sastra berupa prosa yang tidak masuk kriteria sastra
sesungguhnya sehingga mengalakkan produksi karya sastra seenaknya, termasuk
didalamnya berupa novel, dan cerpen.
Untuk itulah perlu di
adakannya sebuah kegiatan pengapresiasian karya sastra berupa prosa yaitu
cerpen, khusunya untuk menilai, mendapatkan pengertian dari cerpen tersebut
atau secara umum karya sastra berupa prosa di era saat ini yang beredar di
masyarakat yang akan dijelaskan bab selanjutnya oleh penulis tentang cerpen
yang berjudul ‘Penjaga Malam’ karya Eka Kurniawan.
/2/
Cerpen yang berjudul ‘Penjaga
Malam’ karya Eka Kurniawan ini. Memiliki struktur yang padat dan campuran. Di
tilik dari bahasaanya cerpen ini termasuk cerpen yang memiliki kemudahan
pembacaan bagi pembaca karena bahasa
yang digunakan tidak begitu sulit dipahami. Dari segi luar konteks cerpennya,
cerpen ini mengarah pada social budaya masyarakat kuna atau pedesaan dan dapat
di curigai bahwa latar belakang cerpen ini adalah kebudayaan jawa di desa.
Unsure-unsur
yang sangat dominan dalam cerpen berjuduk ‘Penjaga Malam’ karya Eka Kurniawan
ini adalah unsur mistik atau hal-hal yang berbau misteri. Menilik hal tersebut
dapat dikategorikan bahwa cerpen ini masuk dalam kategori cerpen fantastic.
Cerpen-cerpen fantastic adalah cerpen yang didalamnya mengangkat cerita-cerita,
pengambaran-pengambaran berupa hal-hal yang sangat sulit diterima dan dicerna
oleh akal manusia. Seperti contoh karya yang lain adalah kisah Harry Potter,
Sepotong Bibir di Jalan Raya, dan Sepasang Ular di Salib Ungu.
Tema yang diangkat dalam cerpen ini adalah
misteri kabut malam yang menghilangkan manusia. Secara garis besar klimak dari
cerpen ini ialah kesenyapan yang membawa linkungan pencerita menjadi mati dan
seolah-oolah tidak hidup, dan diakhiri oleh entah kemtian atau hanya hilangnya
para penjaga desa di telan kegelapan malam.
Setting yang digunakan dalam cerpen ini
adalah sebuah desa kecil yang terletak di bawak kaki-kaki bukit dengan sumber
penerangan lentera ( dapat kita artikan hal ini adalah saat dimana desa-desa
masih benar-benar kuna dan lama). Waktu yang di gambarkan dalam cerpen tersebut
adalah pada malam hari hal tersebut dibuktikan dengan pengambaran paragraph
yang ada dalam cerpen tersebut:
Hujan badai berhenti menjelang tengah malam. Kami
melihat dua ekor ajak tersesat, mendatangi cahaya lentera di tepi gardu, namun
seger bergegas menerobos gerumbul ilalang begitu merekamelihat kami.
Binatang-binatang liar turun gunung, pikirku, demikian hantu-hantu. Sejenak
selepas akau memikirkan itu, satu angin kencang berpusing di atas kami, emmbuat
lentera terayun-ayun berputar dan sekonyong cahayanya padam. Kami mendengar
sesuat terbang di kegelapan, barangkali sepokok batang pisang tercerabut dan
dilambungkan jauh oleh angin celaka.
Dari pengambaran tersebut
diatas jelas terkait dengan setting cerpen tersebut beradai di desa di bawah
kaki bukit dan gunung pada malam hari suasana angin dan badai dan suasana hati
para pelaku adalah mencekam dengan kondisi lingkungan pos penjagaan yang
menakutkan.
Amanat dalam cerpen ini
berupa rasa gotong royong untuk menjaga desa bersama-sama. Hal tersebut juga
dapat kita curigai sebagai anggapang mengkritik sikap acuh tak acauh dengan
kondisi lingkungan tempat tinggal oleh masyarakat modern saat ini. Selain itu
juga terdapat nilai untuk tidak meninggalakan istri yang sedang hamil di rumah
sendirian. Namun secara pemaknaan positif hal tersebut dapat kita artikan pula
sebagai rasa ungkapan profesionalisme tokoh pencerita dalam cerpen tersebut
untuk melaksanakan tugasnya secara professional untuk menjaga desa pada malam
selasa meskipun istrinya sedang hamil anak pertamanya, seperti gambaran
cuplikan paragraph dibawah ini:
…..istriku yang tengah bunting lima bulan mengaku
melihat bajang itu di waktu subuh, ia menjerit dan aku terbangun. Sejak saat
itu ia tak pernah keluar rumah di malam hari seorang diri. …………
………sejak ia melihat bajang itu, ia tak melakukannya
lagi kecuali aku menemaninnya, dan subuh ini aku tak akan bersamannya, pikirku
serupa satu ramalan yang aneh, sebab bajang itu mungkin telah masuk ke rumah.
Selanjutnya
penokohan, penokohan dalam cerpen ini terdapat empat tokoh utam di tambah tokoh
pelengkap seorang istri dari si pencerita menjadi lima tokoh diantaranya :
Karmin, Hamid, Miso, Si Pencerita dan istri pencerita. Secara spesifik
tokoh-tokoh tersebut memiliki karakter-karakter yang berbeda pertama Karmin
meiliki watak yang tanggung jawab, hal tersebt digambarkan dengan keinginan
yang tidak dipaksakan melainkan muncul dalam dirinya sendiri ketika badai dan
angin ia tetap menjalankan tugas untuk memastikan tidak ada sesuatu yang
terjadi di desa sehingga ia tetap berkeliling desa meskipun pada akhirnya ia
hilang di telan kegelapan.
Kedua Miso, Miso memiliki karakter empati yang
tinggi hal itu dibuktikan dengan kegelisahanya memandang arah timur dimana
bayang-bayang Karmin menghilang dan ia berinisiatif untuk menyusulnya dari arah
yang berlawanan namun yang terjadi adalah Miso juga tak segera kembali ke pos
penjagaan , ia juga hilang di tengah kegelapan.
Ketiga
adalah Hamid, Hamid meiliki karakter yang pemberani. Hal tersebut dibuktikan
dengan keberaniannya untuk yang pertama kali ikut menjaga desa di malam yang
penuh badai dan rintik hujan. Selain itu juga karakter tersebut dibuktikan
dengan pengambaran dalam cerpen tersebut;
……….hamid turun dan mengambil kentingan lain,
memukul-mukul berkali-kali, lalu ia diam mendengarkan, dan kami tak mendengar
balasan apa pun.
Aku akan mencari Karmin dan Miso, katanya. Tidak aku
saja, kataku.
Ke
empat adlah si pencerita. Si pencerita memiliki karakter yang mudah bimbang,
penakut, dan peragu. Hal tersebut dibuktikan dengan ungkapannya diantaranya :
Bocah
itu memandangku dengan tatapan bertanya. Aku begitu lelah dan mengantuk, tak
memedulikanya, dan bersandar ke didinding gardu mencoba melepas penat……
Kami
sama menanti Karmin dan berharap ia dating membawa kabar baik, bahwa kampong
tak tersentuh celaka apapun. Tapi karmi tak juga muncul sementara istriku di
rumah tak terjaga siapapun. Ia harus mnegunci pintu rapat-rapat.
Secara
garis besar ceriota dalam cerpen tersebut adalah sebagai berikut. Cerita
bermula dari seorang keluarga yang mendapat gilir untuk menjga desa pada malam
selasa. Namun istri dari keluarga tersebut sedang mengandung anak pertama.
Meskipun demikian sang suami yang bertindak sebagai pencerita dalam cerpen ini
tetap beragkat ke gardu untuk menjaga desa. Dari sinilah alur kliamks cerita di
mulai.
Sampai pada gardu, terdapat empat tokoh
yang menjga tiba-tiba suasan menjadi tak biasa. Angin tiba-tiba membesar diikuti
rintik hujan yang mulai menabur-nabur. Dan ketakuatan menyerang ke empat tokoh
tersebut. Kondisi yang demikian mengakibatkan para tokoh berfikiranegatif
tentag desa, ada sesuatu yang melanda desa atau telah terjadi bencana di desa
sehingga satu persatu tokoh bergegas
memeriksa keadaan desa. Namun yang terjadi satu persatu pula tokoh-tokoh penjga
desa itu menghilang di kegelapan malam hingga tokoh terakhir yaitu Hamid dan Si
Pencerita memeriksa keadaan desa berdua juga mngalami nasib yang sama.
/3/
Cerita pendek yang berjudul ‘Penjaga
Malam’ karya Eka Kurniawan ini memiliki unsure kepekaan pengambaran situasi dan
kondisi cerita yang baik. Seperti dikatakan sebelumnya bahwa cerpen ini
termasuk jenis cerpen yang masuk dalam
korodor jenis cerita fantastic, yaitu cerita yang didalamnya terdapat
pengambaran unsure cerita yang tak masuk aakal dan sulit diterima akal,
bahwasanya cerita tersebut berupa cerita misteri.
Untuk saat ini, meinjam
ungkapan dosen sastra Indonesia, bahaw keberadaan cerita jenis Fnatastik di Indonesia
cukup tak banyak atau sedikit. Hal itu bukan tanpa alas an apa-apa, cerita yang
memilki kecenderungan bercerita tentang misteri , pada dasarnya harus mampu
membawa pembaca atau penikmat masuk kedalam apa yang terjadi dan apa yang
menjadi nilai rasa dalam cerita tersebut dan kemampuan seorang pengarang
menuliskan cerita yang berjenis fantastic ini dapat di buktikan dengan tolak
ukur hal tersebut. Dan itulah yang dilakukan Eka Kurniawan, dapat membawa
pambacaa masuk kedalam tragedy cerita misterinya.
Ungkapan yang bertemakan
misteri tidak semudah mengungkapkan pengambaran keindahan dan kesedihan.
Ungkapan misteri harus meiliki unsure yang lebih dan butuh kemampuan kebahasaan
yang mumpuni. Maka cerpen ini, cerpen yang berjudul ‘Penjaga Malam’ karya Eka
Kurniawan ini adalah cerpen yang menarik dan miliki keragaman ungkapan yang
baik.
Komentar
Posting Komentar
Salam kenal 😊 Terima kasih sudah berkomentar. Sering-sering mengecek postingan terbaru dari www.omahloretan.blogspot.com yaa 😊