Di Tingkat Mikro, Kedaulatan Pun Penting
Ilustrasi: Feri Fenoria |
Meski demikian, dari lamat-lamat alunan sound system yang terdengar ketika memarkir kendaraan, suara yang mengisi masih bukan Cak Nun. Alias, Cak Nun belum munggah atau naik panggung memberikan petuah-petuah. Syukur, belum ketinggalan.
Saya sangat berharap, malam itu isu yang bakal diangkat tentang Jawa. Ya, minimal soal Jawa lampau atau nilai-nilainya.
Namun, setelah mendapat tempat di pojok sayap kanan belakang panggung, saya menyimpulkan, dini sebenarnya, harapan tersebut ternyata salah. Itu saya dapati dari diskusi pembuka yang digelar. Yakni, bicara soal zalzalah, hiperpesimistis sindrom sebenarnya.
Ada Ukhti dan Anak-Anak
Sembari menunggu Cak Nun naik, kepulan rokok yang bersahut-sahutan dari setiap bagian kerumunan masa menarik untuk diperhatikan. Juga, seloroh "pentol maiyah, pentol maiyah" dari pengasong makanan turut membuat simpul tawa bagi yang mendengarnya.
Anehnya, selalu ada yang bekerumun dan berlesehan. Berdiam dan berdialektika dengan pengalamnya masing-masing. Bersila mengerubung menuju ke arah panggung dengan sigaret yang menyala bara, bagi pria.
Meski untuk peserta Maiyahan, mulai Bang-Bang Wetan hingga Kenduri Cinta atau yang lain, itu jelas meliputi berbagai lapisan. Namun, bagi saya, selalu ada yang menarik saat bertemu dengan mereka dalam nuansa kerakyatan di Maiyah.
Saya selalu membayangkan berada di posisi mereka, peserta yang saya anggap unik. Mengira-ngira latar belakang yang kuat seperti apa, mereka kok tiba-tiba berkeinginan turut larut dalam dinginya malam untuk mendengarkan paparan yang tidak biasa dari Cak Nun.
Mungkinkah mereka penyusup? Mungkin pula mereka terpaksa karena terjebak dalam sikon yang sulit. Seperti sulitnya Milea menolak tawaran Mas Adi jalan-jalan ke ITB setelah berjanji tidak ikut kepada Dilan?
Namun, ya begitulah. Banyak hal yang kadang tak terpikirkan dari hal-hal yang mudah dipikirkan orang lain. Terutama soal misteri kehidupan setiap orang. Pengalaman-pengalamanya menghidupi keping-keping waktu yang diberikan. Termasuk soal fenomena itu.
Diskusi Pertama, lalu Berakhir
Saya lihat jam di gawai, angka digitalnya menunjukkan 00.00. Kalau di desa, disebutnya sebagai sirep kayon. Yakni, pergantian atau perpotongan bagian waktu yang membuat makhluk-makhluk malam tak mengeluarkan bunyi sedikit pun, tapi sebentar.
Kusaksikan, tiba-tiba kerumunan manusia berdiri dan membelah. Dikawal beberapa orang, Cak Nun munggah. Naik panggung memberikan wejangan dan membesarkan hati rakyat.
Seperti biasanya, Cak Nun berperan sebagai orang tua. Mengajak sinau semua orang dengan tak berperan sebagai ilmuwan, tahu dan mengerti segala hal.
Cak Nun memosisikan sebagai media perangsang orang-orang untuk berpikir. Dengan mendengarkan keluhan dan kegelisahan yang dirasakan jamaahnya.
Dalam diskusi itu, setiap orang dalam lingkup terkecil alias mikro, mesti memiliki barang jadi atau mateng. Terutama soal proses pencarian jawaban tentang apa pun.
Setiap yang disampaikan oleh siapa pun, curigai belum tentu itu adalah kebenaran. Termasuk yang disampaikan Cak Nun.
Setiap manusia memiliki ketajaman pengasahan yang berbeda-beda. Itu terkait dengan pengalaman dalam menghidupi usia.
Intinya, setiap apa yang dipegang, soal prinsip, mesti didasari dari kedaulatan atau indepedensi berpikir sendiri yang kuat. Dengan pengalamannya sendiri. Budaya berpikir kritis mesti dinomorsatukan.
Namun, pada akhirnya, kita juga harus lentur, tidak kaku, terkait temuan jawaban yang didapat. Sebab, belajar itu adalah kewajiban manusia. Dari berangkat hingga pulang nanti. "Ojo gampang percoyo. Iki urong mesti," ungkap Cak Nun. Dan, saya putuskan menyudahi sinau bareng Cak Nun tersebut. "Mangan kacang, neng yo kudu dioncek. Mboh mok oncek gae tangan, cakot, yo cepetne lawang, terserah. Gak usah melu-melu".
Surabaya, sehari sebelumnya.
Komentar
Posting Komentar
Salam kenal 😊 Terima kasih sudah berkomentar. Sering-sering mengecek postingan terbaru dari www.omahloretan.blogspot.com yaa 😊