Yang Kami Sebut Blakontang

Sumber: google

Menyusuri jalanan desa,  tiga anak kecil sangat teliti mengamati gundukan sampah di pinggir jalan.  Saat itu pukul 13.00, sepulang sekolah,  seorang menaiki sepeda sembari meneteng tas kresek plastik hitam.  Dua anak lainnya berjalan beriringan di sisi kanan dan kiri jalanan.

Fokus mereka tetap sama, mendolog pada tumpukan-tumpukan sampah. Tong-tong sampah yang tertutup pun bakal mereka endus, lantas buka dengan pandangan tajam.

Ketiganya sangat berharap tas plastik hitam yang disematkan pada stang sepedah bercat hitam itu terisi penuh. Ya,  terisi penuh dengan bungkus-bungkus rokok yang berharga mahal.

Pemulung?  Bukan. Mereka adalah anak-anak polos yang tengah menempuh pendidikan dasar. Untuk mereka,  bungkus-bungkus rokok itu menjadi alat transaksi dalam permainan kerakyatan. Blakontang biasa mereka menyebutnya.

Sebab,  bagi ketiganya, hal tersebut sangat penting.  Tak sembarangan bocah bisa berimajinasi dengan barang-barang bekas murahan semacam itu.  Namun,  sekali lagi, untuk mereka dan anak seusianya di wilayah desa kecil arah utara dari pusat kota Wlingi,  barang-barang hina selalu ada cerita serta keajaibannya. Seperti halnya bungkus-bungkus rokok tersebut.

Meski bukan dunia mereka, rokok,  pengetahuan tentang harga serta jenis-jenisnya menjadi hal yang tak sengaja mesti mereka kuasai.  Harga Surya,  Malboro,  Grendel, Marcopolo,  LA, dan Sampoerna serta yang lainnya. Bahkan, menggangap sebuah bungkus rokok limited edition adalah sebuah emas,  kejayaan, dan kebanggaan. Dan itu akan disimpan dengan baik sekaligus dimusiumkan.

Setiap sore menjelang,  selain sepak bola,  permainan itu akan menunggu tangan-tangan kecil yang mencengkeram batu-batu kali.  Batu-batu tersebut akan melesat ke depan. Membidik sebuah kaleng bekas oli di jarak sekitar 5 meter.

Di atasnya,  terdapat tumpukan bungkus rokok yang terkemas dengan tipis dan menarik.  Tawa dan umpatan selalu terdengar dalam permainan itu.

Batu kali yang meluncur dengan arah yang tepat bakal menghantam kaleng oli. Bungkusan rokok turut tersentak berhamburan tersodok batu kali tersebut.

Di sekitar kaleng oli,  terdapat lingkaran setan. Tempat bungkusan jatuh yang tak diperbolehkan diambil pelempar. Untuk yang terhambur,  bungkusan rokok,  ke luar lingkaran,  itu akan menjadi penghasilan yang berhak didapat pelempar.

Simpel?  Ya,  sangat simpel.  Sistem udu alias nilai transaksi permainan pun tak kalah unik. Anak-anak akan berlagak selayaknya Andi Law bermain kartu dalam film aksinya.

Sistem udu disesuaikan dengan nilai rokok yang disepakati maupun sesuai dengan harga pasaran rokok. Seratus berarti dua bungkus seharga Surya dan Grendel yang di hargai 50. Dan pada akhirnya,  kemenangan bakal membawa seorang di antara anak-anak itu kepada kepuasaan.  Juga terpenuhinya perkembangan rohani mereka.

Karena itu, ketiga anak bergegas berperan sebagai hunter bungkus rokok saat sore sepulang mencari ilmu di sekolah. Permainan tersebut pulalah yang membuat ketiga anak rela berpanas-panas memungut sampah-sampah bekas rokok di jalanan-jalanan desa.
Ya,  dengan kepolosan, hal negatif semacam rokok,  bungkusnya,  menjadi medium mengasah insting hal positif. Mereka bakal berusaha memupuk jiwa sportifitas dalam permainan yang selalu memancing saya tertawa kala mengingat permainan tersebut.

Selain itu,  tanggung jawab dalam arti menerima kekalahan menjadi pelajaran lain yang mereka pupuk dalam permainan yang tumbuh dalam janin keterbatasan tersebut. Sebab, kebahagiaan itu sangat dan sungguh sederhana. Seperti halnya permainan tradisional bernama blakontang itu. Percayalah,  keterbatasan maupun ketidak sempurnaan merupakan hal positif yang coba Gusti hadiahkan untuk anak-anaknya yang terpilih sekaligus yang sangat dicintai. Bersyukurlah.

Komentar