Menua

Suatu siang,  saya melihat seorang bapak-bapak yang cukup tua. Dia menenteng ransel besar semacam tas yang dibawa para sales.  Dengan gestur tubuh yang tua dan lelah,  dia berjalan,  lantas duduk di warung di sebelah saya.

Dari gelagatnya,  beberapa tubuhnya sudah terlihat tak berfungsi.  Kesan itu saya dapatkan ketika dia memesan es kopyor kepada pedagang di warung tersebut.  Suaranya terdengar tak begitu jelas, mirip seperti anak kecil yang baru belajar berbicara.

Meski menyadari hal itu,  dia berusaha menjelaskan apa yang diinginkannya sambil menunjuk dagangan yang ada di warung. Ya,  dia menunjuk es kopyor sambil menunjukkan isyarat tangan yang didada-dadakan beserta ucapan es yang tak begitu jelas.

Pedagang pun tahu maksud si orang tua itu.  "Gak, gawe es?" seloroh si pedagang.  Setelah duduk,  orang tua tersebut mengusap keningnya yang sedikit basah oleh keringat dengan tisu yang tersedia di atas meja.  Dengan tangan yang bergetar, dia buka tas besarnya.

Es pesanannya pun datang.  Dia tak langsung meminumnya.  Dia masih berusaha mencari sesuatu yang ada di dalam tasnya.  Beberapa saat, bungkusan pelastik bening dikeluarkannya.  Terlihat ada ketela rebus di dalamnya.

Saya jadi ingat kakek di rumah.  Kakek saya juga sering mengonsumsi makanan semacam itu.  Penyebabnya adalah usia yang sudah uzur sehingga daya tahan berkurang.  Akibatnya, makanan yang dikonsumsi pun harus tidak mengandung bahan-bahan yang bisa memicu penyakit.  Salah satunya ketela rebus dan makanan alami lain.  Itulah hidup.

Tua adalah kepastian yang kita jalani.  Termasuk menjadi lemah dan hina. Baik mereka yang tampan maupun yang cantik. Tua adalah pintu menuju asalnya manusia.

Komentar