Surantat


Lelaki Paro Baya yang Lekas Berputus Asa

Sore itu matahari terlihat sejuk. Diikuti hembusan angin yang tak sebegitu besar, temaram cahayanya memberikan ketenangan. Termasuk dirasakan Rantat. Seorang laki-laki parobaya beranak satu laki-laki. Dia adalah seorang suami untuk istrinya yang tak pernah muncul setelah empat tahun lalu memutuskan untuk merantau ke negeri seberang. Dia juga seorang ayah dari anak laki-laki kurus berkulit sawo matang yang saat ini duduk di bangku SD. Dia juga adalah seorang anak dari nenek tua yang beralih peran menjadi ibu dari anaknya.
Sore itu dia memancing di sungai belakang rumahnya. Sudah sangat lama dia di sana. Hari itu dia memutuskan untuk tak bekerja meski sering kali anaknya merengek meminta berbagai hal yang dia temukan di televisi. Namun, "nanti kalau sudah punya uang" adalah ungkapan yang lumayan ampuh untuk menenangkan anaknya itu.
Hari itu adalah hari Jumat. Bagi seorang penganut salah satu agama yang dianggap benar, hari itu adalah hari sakral dan berbau keberuntungan. Makanya, dia memutuskan untuk tak bekerja dan memilih memancing.

Mungkin, dia bisa dapatkan ikan untuk sekadar memberikan asupan nutrisi anaknya yang kurus itu. Siapa tahu mendapat banyak dan cukup dibagi atau mungkin dijual.
Sungai tidak terlalu besar dibelakang rumahnya memang penuh misteri. Beberapa kali, dia pernah mendapatkan ikan yang lumayan banyak dan besar.

Namun, tak jarang, dia hanya pulang dengan tangan kosong. Biasanya, keberuntungannya itu terjadi bersamaan dengan keadaan keluargannya. Saat susah biasanya dapat. Saat hanya ingin menghibur diri, dia tak pernah dapat.
Sebelum sampai sungai, semak-semak dan kebun milik haji Asmun adalah rintangan yang harus di lewati. Bukan apa-apa, di dalam kebun itu, terdapat banyak pohon buah yang terus bergantian minta dipanen. Sementara itu, di seberang sungai, terhampar beberapa kolam ikan milik haji Asmun pula. Haji Asmun adalah seorang agamis yang keras dan kaya di desanya, konon setiap harta miliknya dijaga oleh Jin.

Tapi, entahlah, Jin sungguhan atau hanya ingin menakut-nakuti warga.
Ekonomi keluarga Rantat memang sangat sulit. Itulah kenapa, istri satu-satunya yang dia pinang dengan mas kawin seekor sapi Brahma besar merantau dan tak berkabar. Kepedihan  pun memuncak saat anaknya yang sering sakit-sakitan menanyakan keberadaan ibunya.  Namun , dia selalu dapat mengatasi hal itu dengan mengusap kepala anaknya diikuti umat-amit mulutnya untuk membacakan sebuah mantra. Anaknya pun terlelap dalam mimpi bertemu ibunya.
Hari mulai petang, namun pancingnya tak sedikitpun menunjukkan tanda mendapatkan ikan. Asu,  dalam hatinya mengumpat. Dia pun beberapa kali menganti  umpan, tapi tak membawakan hasil. Suara adzan pun terdengar. Hatinya bergetar. Dalam hatinya, dia ingin segera pulang.

Namun, pikirannya melayang pada dua sosok di rumah yang  menunggu kedatanganya untuk membawakan ikan kemudian di makan bersama-sama. Matanya tertuju pada kolam di seberang sungai, sesekali muncul keinginannya untuk memancing di kolam haji Asmun. Tapi, seketika dia teringat suara Adzan yang baru saja di kumandangkan haji Asmun. Asu, umpatnya lagi. Hatinya mulai berkecamuk.
 
Gelap pun semakin nampak. Rantat pun beranjak dan mantab berjalan ke seberang sungai. Tanpa pikir panjang, dimasukkanlah umpan pancingnya ke dalam kolam haji Asmun. Tak seberapa lama, ikan pun berhasil dia dapatkan. Dalam hatinya, kelak kalau bertemu dengan haji Asmun, dia akan meminta ijin dan menceritakan hal ini. Pikirannya pun mulai tenang.
Tak seberapa lama, dia pun berkemas dan ingin segera pulang. Dia hanya menangkap dua ekor ikan yang lumayan besar, cukup untuk anak dan ibunya. Semoga mudhalarat yang akan didapatkan tak begitu besar, pikirnya.
Dia pun bergegas pulang. Dalam perjalanannya, Rantat diliputi berbagai pikiran. Tentang apa yang baru saja dia lakukan, tentang istrinya, dan tentang kedua orang di rumahnya. Dia pun tiba di rumahnya. Benar, anak dan ibunya menunggu di depan rumah.

Dia melihat senyum mereka saat tahu Rantat pulang dengan menenteng dua ekor ikan. Anaknya pun berlari menghampirinya. Dipegannya kepala anak sambil mengelusnya seraya berkata. Kamu siapa? Aku rampok jawab anaknya. Mereka pun tertawa diikuti tawa ibunya di depan rumah. 

Dan anaknya pun langsung bergegas menuju sumur belakang rumah untuk mengerakan yang biasa dia lakukan saat bapaknya mendapatkan tangkapan ikan. Sementara, neneknya bersiap di depan tungku dengan beberapa kayu bakar.

Rantat pun bergegas menuju kamar depan, diambilnya sebuah sarung kumal kenangan istrinya untuk dia gunakan sembahyang. Dalam doanya dia menangis, mengenang berbagai hal termasuk apa yang baru saja dia lakukan. Tiba- tiba tangisnya berhenti saat anak dan ibunya memanggilnya dan menyatakan makanan sudah siap.
Dia melihat dua orang itu terlihat bahagia, maklum beberapa hari ini mereka hanya makan dengan kerupuk. Bahkan, sering berulang-ulang hingga berminggu-minggu. Dia saksikan anaknya tak sabar untuk segera memakan ikan tersebut. Begitu juga ibunya yang sibuk menyiapkan nasi untuk Rantat dan anaknya.
Dia pun lantas medekati mereka dan segera memimpin doa untuk melahap ikan itu.di depan kedua orang yang dicintainya itu, Rantat terdiam dan tak segera memegang piring yang telah diambilkan nasi oleh ibunya.  Kog gak ndang di pangan? Tanya ibunya. Dia pun terdiam tak menjawab, hanya tersenyum sambil mengerakkan tangannya untuk mempersilakan mereka berdua makan. Anaknyapun juga demikian, menanyakan hal yang sama. Namun, Rantat menjawab dengan jawaban yang sama. Lantas dia pun berkhutbah dan bercerita kepada anaknya.
Di antara kelahapan anaknya melahap ikan tersebut, Rantat terdiam. Sambil melahap dan penuh antusias, anaknya pun mendengarkan bapaknya bercerita. Rantat tersenyum. Sambil menyalakan sebuah rokok, dia kisahkan cerita ini hingga ikan tersebut tak bersisa. Disaksikannya, dua orang di depannya tak bersuara, kemudian tak bernyawa.

Komentar