Cuci Gudang (Nya Kenangan)


Masa lalu adalah tangga.  Tangga yang membawamu ke atas puncak yang berujung.  Kadang pula membawamu pada kebuntuan.  Yang keras,  sangat keras, bahkan tak terdefinisikan.




Masa lalu adalah tangga.  Tangga yang membawamu ke atas puncak yang berujung.  Kadang pula membawamu pada kebuntuan.  Yang keras,  sangat keras, bahkan tak terdefinisikan.

Yang dibutuhkan untuk mencapai puncak  hanya satu. Keberanian yang militan.  Untuk merangkai tiap keping-keping yang lusuh dan sangat buruk menjadi sebuah bentuk yang kau yakini sebagai akhir dan titik dalam hidupmu-

Kisah malam Jum'at bersama kopi, rokok,  dan seorang kawan.

Beberapa hari ini saya mengambil cuti.  Hanya tiga hari untuk mengembalikan energi dan berkunjung ke beberapa tempat.  Satu hari untuk keluarga. Satu hari untuk kakek nenek,  dan  satu hari untuk teman-teman. Artinya,  tidak berkunjung ke tempat-tempat instagramable semacam gunung,  pantai, tempat rekreasi, dan tempat-tempat hits lainnya.

Meski sebenarnya kurang,  terutama dengan keluarga karena tertutupi dengan kegiatan lain,  bagaimanapun waktu yang sedikit itu mesti dimanfaatkan dengan baik. Ya begitulah sikap bijak yang harus diambil,  khususnya sebagai karyawan alias buruh.  Karena itu,  jika ingin punya banyak waktu, berusahalah menjadi bos. Padahal,  itu hanyalah ilusi.

Ya,  hari yang ketiga saya jadi ke rumah teman.  Tanpa basa-basi saya hubungi dia via media sosial. Dan saya katakan, saya segera datang dan mengajaknya keluar. Sebelum pesan itu berbalas,  saya putuskan segera menuju rumahnya. Sebab,  selama ini,  memang rumahnya memang sangat tak asing bagi saya dan teman-teman saat SMA dulu.  Jadi,  kalaupun dia memang tidak di rumah, saya biasa nongkrong di sana.

Saat itu memang sudah agak malam saya datang. Benar saja, dia berada di rumah dan menyatakan tak ada jadwal apel.  Jadilah kami keluar ke beberapa tempat di pusat kota.
Seperti biasanya, setelah lama tidak bertemu,  dalam perjalanan, kami sedikit ramai karena saling bercerita tentang suatu hal.  Tentang apa pun.  Setelah berjalan sekitar 15 menit,  saya katakan kepadanya untuk pergi ke toko jaket.

Sudah sangat lama saya ingin membeli jaket, tapi nggak sempat-sempat.  Ada salah satu toko yang memang sering saya datangi untuk urusan jaket, bisa dikatakan sebagai langganan.  Di sisi lain,  toko itu tak hanya lengkap dan murah,  tapi juga punya banyak kenangan.

Tanpa basa-basi, motor pun saya arahkan ke toko tersebut. Entah dari mana saya tiba-tiba berpikir saat itu ingin pergi ke toko tersebut. Meski sebenarnya memang butuh,  saya juga tak tahu dengan pasti kenapa ketika itu mantab untuk ke sana, tidak besok atau lain kali. Padahal biasanya, saat bertemu,  kami nongkrong, ngopi, atau ngobrol dulu di rumah.

Ya, setiba di sana, saya pun melenggang masuk ke toko itu, sedangkan teman saya memarkir motor.  Dan.. tak pernah  terduga dan terbayang sebelumnya, di dalam,  seorang perempuan yang sangat saya kenal berada di sana. Ya, seorang mantan bersama pacarnya tengah memilih-milih jaket. Saat melihatnya,  saya langsung kaget,  dredeg,  deg2an, dan keringetan. Saat kali pertama melihatnya setelah membuka pintu,  dia tak melihat saya,  saya langsung kembali keluar. Tiba-tiba teman saya menyaut.

Lhah...  Nyapo mbalek i...  Ra sido ye..?
Sek,  sido ra yo.. Penak e...
Wes... Wei kumat, gampang galau..  Sanu we sok ape ijaban, takok Pak Modin sido po ra pak penak e...
Sek to menengo,  tak ngenteni wahyu..
Wes teko kene ilo Nyok...  Jare we sesok wes budal. Wes saiki e,  gek ndang miliho.

Dan, saya pun kembali masuk toko.  Benar saja,  saya melihat dia. Begitu pun dia melihat saya.  Dalam kondisi seperti ini, saya sangat kebingungan. Harus bersikap seperti apa.  Posisinya dia bersama pacarnya. Dan,  saya hanya bersama teman saya, bukan pacar atau teman perempuan yang lumayan sebanding. Tiba-tiba teman saya muncul dari belakang.

Owalah...  Iki to seng marakne enek seng keri mau...  Sahut teman saya sambil cengar-cengir
Dalam posisi seperti ini,  saya pun sedikit menduga bahwa dia mungkin juga bingung harus bagaimana. Sebab, pertemuan yang tak sengaja itu pasti punya sedikit kesengajaan.  Harap saya.
Sebagai seorang yang pernah kenal,  bahkan dekat,  saya sebenarnya pengin menyapa dan bersalaman dengannya.  Namun,  sepertinya situasi tidak begitu mendukung.

Dan,  tiba-tiba teman saya nyelonong mendekatinya dan bersalaman dengannya,  termasuk dengan pacarnya. Tak ada pilihan lain,  saya pun harus ikut mendekat dan bersapa dengan mereka meski kagok tetap saja muncul.

Setelah berbasa-basi, saya pun bergegas ke pojok yang lain sembari berucap mau cari tas, sebagai alasan. Sebab,  tidak mungkin saya dan dia sama2 mencari jaket dengan formasi, dia bersama pacar, sedangkan saya dengan teman saya.  Ibarat sebuah pertandingan bola,  itu jelas tidak imbang.

Saya berada pada posisi yang kalah telak. Situasi seperti itu sebenarnya sangat saya sesali,  tapi di sisi lain tidak.  Hal menariknya,  saat kali pertama kami saling menatap,  wajahnya menampakkan mimik yang ragu.  Antara ingin memanggil dan tidak. Namun,  setelahnya,  saya tak bisa mendefinisikan. Kami mengalir sembari mencuri kesempatan.  Dan, setelahnya,  saya tak melihatnya di tempat yang tadi.  Dia seolah terburu-buru bersama pacarnya. Tak tampak pula mereka memamerkan kemesraan di depan saya dan teman saya.

Sementara itu,  teman saya malah semakin intens menggoda.  Saya pun menjadi tidak fokus memilih jaket. Ujungnya, sepotong jaket di pojok berwarna sama dengan warna baju yang dikenakan perempuan yang saya kenal itu terpilih.  Itung-itung bersejarah dan bermakna. Segera saya ambil dan mengajak teman saya kembali ke rumah. Dalam lamat-lamat bayangan,  tiba-tiba telepon genggam saya bergetar.

Kamu,  apa kabar?

Baik,  kalo kamu,  gimana kabar? Ngapain tadi di situ?

Alhamdulillah baik juga. Aku rindu tempat utu. Kamu masih jomblo?

Itu tadi pacarku hhaha.. Selamat ya..

Haha.. Terimakasih..  kalo pulang hati-hati ya..

Baik...  Hati-hati juga ya..
........
......

Itulah manusia dengan hati dan perasaanya. Dunia ini adalah benang kusut yang diciptakan anak kecil yang kali pertama menaikkan layangan.  Kesemerawutanya seolah berjalan dengan sendirinya.

Jadi,  tak heran jika tembok-tembok besar sering berdiri di tengah jalan secara tak terduga. Yakni,  jalanya mereka yang saling mencinta.  Pada akhirnya,  pahamilah bahwa setiap apa yang kau minta,  tak semuanya adalah sepotong bagian dari tulang rusukmu.






Komentar