Tahun Ke-68 Film Kita



"Jangan jadi admin medsos Kemdikbud. Berat. Kamu tidak akan kuat. Biar aku saja," tulis akun @kemdikbud


Lelaki berpakaian SMA (Iqbal Ramadhan) memegang gagang telepon umum di pinggir jalan. Di tempat yang lain, seorang perempuan menerima telepon dengan wajah semringah (Vannesa Prescilla).

”Jangan rindu, kamu tidak akan kuat. Biar aku saja,” kata sang lelaki lantas menutup telepon.

Itulah sepotong adegan film “Dilan 1990” yang sempat viral pada awal 2018. Saking menyedot banyak perhatian warganet, enam instansi pemerintah turut mengunggah status bertema serupa.

Misalnya, akun Twitter @ditjenpajak, @infoBMKG, @BPKPgoid. Termasuk akun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dalam @kemdikbud.

"Jangan jadi admin medsos Kemdikbud. Berat. Kamu tidak akan kuat. Biar aku saja," tulis akun @kemdikbud.

Sejak diluncurkan pada 25 Januari 2018, penikmat film ”Dilan 1990” menembus angka 6,1 juta pada Maret. Jumlah itu sebenarnya masih kalah dengan film “Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1” yang mencapai 6,8 juta penonton.

Meski begitu, demam alias efek yang ditimbulkan ”Dilan 1990” lumayan terasa dalam jagat dunia maya. Seperti halnya joke film yang tersaji dalam enam akun pemerintah itu. Termasuk munculnya meme dan parodi trailer di jagat media sosial.

Fakta tembusnya angka 6 juta penonton oleh kedua film telah memecahkan rekor. Hal tersebut menunjukkan bahwa menginjak tahun 2018 geliat dunia perfilman Indonesia lekas berkembang. Tepatnya soal apresiasi dan eksistensi film lokal di tengah gempuran film impor.

Di sisi lain, jumlah layar bioskop di Indonesia juga mengalami peningkatan dalam lima tahun terakhir. Berdasar data KFI (Katalog Film Indonesia), pada 2017, terjadi lonjakan jumlah gedung mencapai 2,3 kali lipat dibanding pada pengujung 2012.

Kala itu hanya ada 145 gedung. Totalnya ada 609 layar. Kini jumlah layar bioskop di Indonesia mencapai 263 gedung bioskop. Atau, telah ada 1.412 layar.

”Menginjak tahun ke-68, saat ini, perfilman atau industri kita tengah bagus. Apresiasi penonton tumbuh dengan sehat,” kata pegiat film sekaligus dosen Komunikasi FISIP Universitas Airlangga Rendy Pahrun Wadipalapa, S.Ikom., MA.

”Ada banyak film baru yang memecahkan rekor penonton terbanyak. Misalnya, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 dan Dilan 1990,” imbuhnya saat ditemui UNAIR NEWS.

Meski apresiasi menunjukkan tren positif, lanjut Rendy, konten film nasional masih kurang variatif. Belum ada terobosan yang cukup berarti dalam industri film mainstream nasional. Konten cenderung mengarus penikmat, mengikuti pola lama pasar.

Konten drama, komedi slapstick, dan horror tampak tetap mendominasi. Tawaran variasi konten berasal dari film-film impor. Kebaruan dan kesegaran dari aspek cerita di film nasional nyaris belum terlihat.
”Di sisi lain, film independen muncul dengan progresif. Melalui berbagai festival indie tanah air,” sebutnya.

Pembentukan pola pasar itu tidak berasal dari internal penontonnya saja, sudah melek film atau belum. Namun, indutri film turut membentuk selera. Sementara penikmat tidak mempunyai alternatif tontonan serta terkepung dengan bentukan industri.

”Jadi, seperti belum tampak kesegaran sama sekali. Cenderung mengulang pola,” ucapnya. ”Apalagi, jaringan bioskop sempat dikendalikan oleh segelintir pemain,” tambahnya.

Meski demikian, dua tahun terakhir tampak laju perkembangan film independen turut tumbuh. Banyak institusi publik atau pusat pendidikan yang kini mulai menggelar acara pemutaran film.

Itu, terang Rendy, bagus dalam memberikan alternatif dan tandingan dari jaringan bioskop besar yang sudah mapan. Di sisi pemerintah, insentif negara terhadap film-film lokal independen mesti ditingkatkan. Termasuk penguatan dalam segi pendidikan film serta sinematografi yang baik. Terutama insentif yang produktif.

Film Penting

Kualitas film nasional mesti terus didorong. Meski, kebijakan ke arah itu kadang terbentur dengan budget. Dalam hitungan komersil, film dengan kualitas sinematografi membutuhkan angka milyaran.

Namun, juga tidak tertutup kemungkinan film berkualitas dengan budget murah meski sedikit. Seperti halnya film ”Ziarah” karya B.W. Purbanegara.

Kualitas film itu sengat penting. Mengingat, ujar Rendy, film merupakan bagian terpenting dari edukasi publik. Film adalah medium yang memantulkan realitas sehari-hari dan imajinasi sebagai ceritanya.

”Ini penting untuk mendorong pikiran kreatif publik. Sekaligus presepsi masyarakat terkait dengan sikap dalam kehidupan sosial,” katanya.

Ragam konten lokalitas Indonesia mesti dimanfaatkan dengan baik. Terutama dalam upaya mempertajam fungsi film dalam kesertaan membangun kehidupan bangsa. Karena itu, di Indonesia, variasi konten film harus didorong.

Sebab, selama ini, banyak konten yang belum tergarap. Misalnya, isu-isu kelompok marjinal, cerita rakyat dalam mengkritik penguasa, dan isu-isu ideologis.

”Termasuk kodrat keragaman yang dimiliki Indonesia. Juga, sosial budayanya yang mesti digarab,” ujarnya. ”Sebab, kini SDM perfilman Indonesia juga mulai banyak. Mulai merata, dari yang berlatar belakang pendidikan film, otodidak, atau komunitas-komunitas di daerah. Ditambah, terjangkaunya teknologi-teknologi visual saat ini,” jelasnya.

Selamat Hari Film Nasional..

(Feri Fenoria)

Komentar