Fix-nya Kapan Bis Malang-Blitar Nyaman?

Sumber foto: gramco.com


Bus tua tanpa AC ditambah bau menyengat campuran solar dan keringat manusia jadi pemandangan biasa yang sering dijumpai kala naik bis di daerah. Misalnya di bus jurusan Malang Blitar. Apalagi kalo malam.

Yang kadang bikin tambah geleng-geleng, sering terjadi penarikan tarif tanpa karcis ditambah penetuan harga yang random. Sak penake dewe. Sekarang tarifnya 15 ribu,  besuk 14 ribu,  besuk bisa 20 ribu. Jangkrik,  iki ngetutne rego saham opo piye?

Terkadang juga ada bis yang pokok nglebokne penumpang.  Sampai uyel-uyelan dengan kondisi jalanan yang sangat berkelok-kelok. Iki leg sampek bis e jungkel piye jal? Tak jarang pula bus tua macet di jalan dan penumpang ditelantarkan.

Penderitaan masyarakat bawah seolah kian lengkap dengan kondisi-kondisi semacam itu. Belum lagi melihat pejabat-pejabat sebagai jongose rakyat malah korup, jangkrik. Duh Gusti,  Indonesia kok tambah koyo ngene.

Dalam lingkup terkecil semacam itu saja, sejumlah aturan soal transportasi publik, misalnya, seolah tidak benar-benar dilaksanakan. Bus-bus yang sebenarnya tidak layak. Pelayanan yang kurang mengenakkan. Dan perhatian pada indikator keselamatan penumpang.

Meski, ada pula bis dengan juga pelayanan yang baik. Misal,  kalo jurusan Malang Blitar itu Restu. Sesuai pengalaman saya, mereka konsisten soal ongkos jalan. Yang bikin saya terkesima itu, kembalian seribu rupiah pun bakal balik ke tangan yang tepat. Alias, susok sewu ae yo disusuki, gak dibulatne terus gak disusuki.

Saya curiga,  problem transportasi ini terkesan dibiarkan. Nyaris tak ada upaya perubahan yang efektif. Dari tahun ke tahun. Ya gitu-gitu aja terus. Jare lagune Banda Neira,  sampai kita tua,  sampai jadi debu. Hiks.

Apa ini memang disengaja agar produsen kendaraan pribadi punya pasar. Mendapat jatah kue dari problem transportasi yang ada.  Sederhananya, masyarakat seolah didorong untuk beli motor? Lihat aja berapa kendaraan pribadi di Indonesia?  Akhirnya tingkat konsumsi bahan bakar kita naik.  Negara pun turut harus memenuhi subsidi BBM. Bermainlah oknum-oknum ini, seperti disebut dalam banyak berita sebagai mafia. Waw,  mafia,  aseem.

Apa pemerintah memang mendorong pendapatan pajak kendaraan pribadi yang optimal? Apa tidak ada cara yang lain? Sehingga transportasi publik di desa terkesan dijarne mboh kono pokok mlaku. Pokok enek? Ditambah ada pemandangan oknum dishub mong nyangkruk ngopi rokok-an? Duh kah..
Kapan bis malang blitar iki isok kelas koyo nang luar negeri? Tak mencoba bertanya pada rumput yang bergoyang..

Ini mbok diperhatikan woy,  dishub daerah. Saya emang gak begitu paham bagaimana regulasi transportasi di daerah itu bekerja. Tapi,  mboh jawaban sederhana-sederhana atas kepinginan masyarakat bawah di pikir.

Wes aman ta durung?  Wes nyaman ta durung?  Itulah. Sederhana sekali. Sebab, terlalu banyak teori malah tak berujung pada solusi.

Semoga dan semoga,  jawaban kapan itu segera nongol ke permukaan.


Komentar