Sebelum Ranukumbolo




"Ya Allah wes meh teko yo. Iyo ketok kae tendo-tendone," ungkap teman saya gembira.

Kala itu gerimis, medan lumayan menanjak. Jalanan juga begitu becek. Tak ayal beberapa kali sepatu teman saya terlepas.

Dalam kondisi sangat dingin, malam hari dan minim pencahayaan, kami berupaya sampai pada waktunya. Ya, kala itu pukul 1.15 dini hari. Kami sampai di punggung bukit di depan Ranukumbolo. Tepatnya jalur sebelum atau menuju pos 4.

Kala itu saya bertiga. Bersama dua teman perempuan saya. Kami terpecah saat berada di jalur menuju pos 4. Total rombongan sepuluh orang.

Cuaca saat itu sangat tidak mendukung. Ditambah suasana capek dan ingin segera sampai dan istirahat. Rombongan bersepuluh terpisah jadi dua rombongan. Tujuh orang sudah di depan. Saya bertiga di belakang.

Ego mesti dijauhkan dalam kondisi lumayan buruk saat itu. Saya mengambil posisi di belakang saat jalanan datar. Sementara,saat jalanan menanjak, saya mengambil posisi di tengah.

Benar, tanjakan menjelang pos 4 parah. Saya saja, hampir kelimpungan. Mengingat, kondisi capek, jalanan becek tanah liat, licin, hujan gerimis, di tambah penerangan gak begitu terang karena kabut, belum lagi beban tas carier.

Akhirnya teman saya yang dari Lamongan yang lumayan biasa naik gunung berada di depan. Ia bertugas mencari jalan yang nggak begitu bahaya dan licin. Sementara saya di tengah sembari menjadi bahan pegangan teman perempuan yang di belakang.

Ia berkali-kali hampir terpeleset. Terlihat ia juga begitu kepayahan. Namun, tampak tak ingin menambahi beban dalam kondisi yang tidak memungkinkan.

"Ngapain juga malam-malam mau kepayahan seperti ini," pikiran saya putus asa.

Jujur, berdiam untuk menunggu dalam kondisi itu tidak nyaman. Bayangkan, pakaian basah. Antara basah keringat di bagian atas dan karena air hujan di bagian bawah.

Saya beberapa kali menunggu dan memperhatikan rekan saya yang kecapekan. Namun, kondisi medan jalan terlalu sempit untuk istirahat. Kanan kiri ada becek dan kubangan bekas pendaki lainnya.

Belum lagi, kondisi sampingnya hanya semak-semak yang beriringan dengan jurang.  Menunggu sembari berdiri? Jelas tambah melelahkan. Bahkan sempat tebersit rasa kantuk saat istirahat.

Mengingat, kondisi sangat capek itu memungkinkan dengan mudah seseorang bisa langsung terkantuk. Tiba-tiba tertidur, dan mengelundung di semak-semak atau jurang tambah tidak lucu.

"Sepurane yo, sepurane yo," ungkap teman perempuan saya saat sampai tengah medan tanjakan itu.

Sepatunya kembali terlepas di kubangan. Kala itu saya tidak memakai sepatu, hanya sandal gunung yang ada tali belakangnya.

Dia sepertinya lumayan putus asa juga karena beberapa kali sepatunya lepas. Namun, melepas sepatu juga bukan pilihan yang tepat. Ada banyak resiko cedera jika memilih hal itu.

Usai istirahatnya cukup, kami kembali melanjutkan tantangan itu. Saya menarik teman saya. Dan, teman yang lain masih berada di depan lihat medan yang tidak terlalu berisiko.

“Semangat rek, diluk ngkas tekan," kata saya menyemangati diri saya sendiri dan teman -teman.

Benar, kami begitu hati-hati. Meski, kadang juga muncul rasa tidak telaten, kami bisa melewati ini semua.

Kalian tahu, di antara upaya penaklukan medan tanjakan itu, betapa nikmatnya sebuah tegukan kehausan. Air pitih yang kami bawa terasa begitu nikmat untuk ditelan. Tepatnya dalam kondisi lelah bercampur ketakutan, kepasrahan, dan ketidakpastian itu.

"Gak usah dipekso rek. Santai, leren. Ngombe-ngombe sek," kata saya lagi.

Dan, akhirnya kami tiba di punggung bukit depan Ranukumbolo dengan aman. Tinggal jalan datar dan turunan yang bakal kami hadapi berikutnya.

Dan, saat kami melihat tanda-tanda itu adalah Ranukumbolo. Lelah itu tiba-tiba selesai. Proses itu memang nikmat, sebelum mencecap keindahan potongan surga bernama Ranukumbolo.
Bersambung..


Komentar