Weton dan Pernikahan

OMAHLORETAN - Dalam tradisi orang Jawa, makna weton begitu kuat dan mengakar. Tidak semua orang Jawa sebenarnya. Hanya bagi orang Jawa yang masih kental dan menjunjung tinggi tradisi Jawa. Namun, secara umum orang Jawa masih memegangnya. 

Weton sendiri bermakna perhitungan hari lahir seseorang yang digunakan sebagai patokan untuk menunjuk ramalan tertentu. Sederhananya, ada perhitungan tertentu bagi orang Jawa saat lahir dengan angka-angka tertentu. Angka itulah yang selanjutnya dijadikan patokan menentukan suatu ramalan tertentu. 

RAISA dan Hamish Daud saat prosesi pernikahan adat Jawa. (Foto: beautynesia.com) 


Weton ini hampir mirip dengan horoskop, semacam shio dalam tradisi China. Termasuk zodiak dalam tradisi modern. 

Weton terdiri atas Legi, Pahing, Pon, Wage, dan Kliwon. Masing-masing memiliki nilai angka sendiri-sendiri. Yakni, Legi 5, Pahing 9, Pon 7, Wage 4, serta Kliwon 8.

Pertanyaannya? Dari mana nilai-nilai angka itu didapatkan? Nah itu, saya tidak tahu. Angka itu diturunkan secara turun temurun melalui literatur serat, termasuk melalui foklor di daerah. 

Yang menjadi kerumitan, weton menjadi salah satu piranti penting dalam urusan relationship, khususnya jodoh dan pernikahan di lingkungan tradisi Jawa. Cocok dan tidak cocok serta langgeng dan tidak langgengnya urusan pernikahan seolah bisa ditelusuri serta diprediksi. 

Salah? Jelas tidak ada kewenangan untuk menyalahkan. Tidak baik? Jelas lebih tidak berwenang. 

Inti dari local wisdom alias buah dari kearifan lokal ini adalah setiap hal itu diputusi tidak dengan sembrono alias dangkal. Ada semacam ikhtiar pendalaman terhadap sesuatu hal. Misalnya soal pernikahan dan kecocokan berdasar weton itu. 

Yang perlu diketahui pula, leluhur kita memiliki ketajaman analisi mengamati objek real dan faktual (ilmu titen) . Baik dari kejadian, fenomena, maupun tanda-tanda alam lainnya. 

Karena itu, semacam weton atau primbon menjadi penegasan dan pengilmiahan dari pengalaman penghayatan yang dilakukan. Sehingga primbon itu seolah kian bersambut. 

Berikutnya, yang tidak kalah penting adalah soal sugesti keyakinan yang sudah melekat secara komunal. Pengalaman dan keyakinan yang terbentuk secara berkelompok itu mendorong munculnya kesepakatan berupa doa. Sehingga berujung pada seolah yang diyakini menjadi kenyataan. 

Sehingga, weton menjadi begitu penting dalam mengiring sugesti kelompok masyarakat yang yakin akan sesuatu hal. Khususnya dalam menciptakan hubungan pernikahan yang baik maupun yang kurang baik. 

Yang jauh lebih berbahaya lagi adalah keyakinan itu ada pada sugesti orang tua. Akibatnya, ketidakikhlasan akan muncul saat keyakinan mereka tidak bersambut dengan realitas yang terjadi. 

Ketidakikhlasan dan doa yang tidak baik orang tua menjadi salah satu momok bagi pengantin dengan weton yang kurang cocok.  Inilah puncak dari kebahayaan itu. Akhirnya, di tengah realitas modern seperti saat ini, tidak ada yang salah saat kita mampu menggabungkan nilai kearifan lokal itu dengan logis alias memiliki dasar analisis kuat sendiri sebagai dasarnya. Selamat bergulat dan berikhtiar. 

Komentar