BAMBANG KASWANTI PURWO: SEJARAH KAJIAN BAHASA
BAMBANG
KASWANTI PURWO:
SEJARAH
KAJIAN BAHASA
Oleh:
FERI FENORIA RIFA'I
121111070
/1/
Ilmu linguistik merupakan sebuah kajian ilmu yang
mengkaji tentang seluk beluk bahasa atau biasa disebut sebagai ilmu tentang
bahasa. fenomena mengenai bahasa, dalam kehidupan manusia menjadi sebuah hal
yang sangat vital, karena fungsi bahasa sebagai alat komunikasi antar manusia
untuk mendukung terjadinya kehidupan manusia itu sendiri, sehingga
fenomena-fenomena bahasa tersebut beriringan dengan perkembangan peradaban
manusia. Fakta tersebut bukan lagi sebuah fenomena yang biasa di dalam
masyarakat melainkan bahasa penting dan
perlu untuk dikaji, oleh karena itu muncullah ilmu yang mengkaji mengenai
bahasa. Sebagai sebuah ilmu pengetahuan, linguistik atau ilmu bahasa tidak statis melainkan dinamis yaitu ilmu yang
terus mengalami perkembangan. seperti halnya penolakan, pengembangan dan
pengkritikan atas teori-teori terdahulu tentang bahasa oleh tokoh-tokoh terkini
sehingga memunculkan tokoh-tokoh linguistik baru dengan model dan pandangan
baru tentang bahasa.
Kemunculan tokoh baru dengan model teori yang berbeda
dapat diartikan sebagai sebuah pencapaian positif dalam dunia ilmu pengetahuan.
Namun, pada kenyataannya dengan keberagaman teori yang sudah ada mengenai
sebuah kajian ilmu pengetahuan menjadikan akademisi maupun kaum intelek
cenderung membenarkan satu teori dan menyalahkan teori yang lain. Hal tersebut
memicu kaum akademisi baru yang telah terhegemoni dengan pandangan akademisi
sebelumnya.
Begitu pula dengan Linguistik di Indonesia. Menilik ilmu
sebagai sesuatu yang dinamis, linguistik di Indonesia juga terus mengalami
perkembangan dari mulai Sutan Takdir Alisyahbana sampai Abdul Chaer, Anton
Mulyono dan Pateda. Namun, perkembangan tersebut juga memicu menyalahkan
teori-teori yang terdahulu dan lebih membenarkan pada teori-teori yang terkini.
Hal tersebut bukan tanpa alasan, karena pada dasarnya dalam sebuah pendidikan
maupun dunia akademisi kita sering mengalami hegemoni mengenai keilmuan
sehingga hal-hal tersebut sering terjadi. Untuk itu perlu bagi kita melacak
kemunculan-kemunculan atau sekadar melihat jejak-jejak perkembangan linguistik
di Indonesia dengan membedah karya-karya dari seorang tokoh yang masuk dalam
kategori tokoh linguistik Indonesia. Dan dalam hal ini tokoh tersebut adalah
Bambang Kaswanti Purwo.
Bambang Kaswanti Purwo perlu untuk di telusuri, karena
pada dasarnya tokoh ini tidak terlalu dikenal di kalangan linguitik muda
padahal beliau adalah tokoh linguitik sehingga dapat kita pertanyakan kenapa
dan ada apa dengan tokoh ini. Selain itu bambang adalah seorang tokoh yang
aktif dalam PELLBA (Pertemuan Linguitik Lembaga Bahasa Atma Jaya) dalam
referensi ini terbukti dari buku terbitannya berjudul PELLBA 5-9. Dan tokoh
inilah yang berperan dalam penerbitan buku PELLBA ke-5 sampai ke-9. Untuk itu
kita perlu menganalisis seluruh karya berupa karya buku tentang linguitik
Bambang tersebut dalam makalah ini yaitu buku hasil PELLBA dari PELLBA ke-5
sampai PELLBA ke-7 sebagai upaya penulusuran jejak tokoh linguistik Indonesia
melalui karya-karyanya.
/2/
Bambang Kaswanti Purwo
Bambang merupakan seorang linguis sekitar tahun 90-an ketika
tahun 1984 pemerintah mengeluarkan kurikulum untuk sekolah tinggi baik SMP dan
SMA dilaksanakan secara nasional., sejak saat itulah kiprah dalam dunia bahasa
ia mulai.
Kebingungan guru Bahasa Indonesia tentang kurikulum baru
tersebut berdampak pada masifnya pendidikan bahasa Indonesia sehingga beberapa
suber menyebut bahwa telah terjadi masa kegelapan pada masa itu terutama
menyangkut konteks (teknis dikenal sebagai pragmatik) yang diamanatkan dalam
kurikulum.
Ketidakpastian menimbulkan pertanyaan bagaimana
menerapkan kurikulum di kelas berlama-lama sampai dukungan pemerintah terhadap
kurikulum baru pada tahun 1994. Revisi ini berbagi filosofi dasar yang sama
dengan pendahulunya, namun berulang nama yang berbeda - kurikulum kompetensi
komunikatif.
Maka
sejak saat itu Bambang Kaswanti yang susah payah mencoba untuk mencerahkan guru
sekolah dan calon guru tentang mengajar bahasa Indonesia dengan cara pragmatis
melalui publikasi Titian Kemahiran Bahasa: Sekolah SIGNIFIKAN PERTAMA (A
Pathway to Language Proficiency) pada tahun 1994, sebuah buku tiga volume
tinggi schoolers. Sebelum menuliskan tiga volume, Bambang telah menulis sebuah
buku pegangan untuk guru bahasa berjudul pragmatik Dan Pengajaran Bahasa:
Menyibak Kurrikulum 1984 (Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Mengungkap Kurikulum
1984), sebuah buku yang mencoba untuk mengungkap gagasan-gagasan yang dikenal
paling pragmatik dan cara hadir merancang bahan ajar sesuai dengan didukung
kurikulum 1984.
Dengan adanya buku teks bahasa Indonesia yang praktis
pada saat itu, Bambang tiga-volume buku menjembatani kesenjangan antara apa
yang ditentukan dalam isi kurikulum dan pengetahuan guru tentang pengajaran
bahasa berdasarkan pragmatik.
Panjang terpesona oleh hal-hal
kecil dari struktur bahasa Indonesia, Bambang adalah, tidak diragukan lagi,
salah satu kekuatan ampuh dalam bidang linguistik Indonesia. Banyak dari karya
ilmiah itu telah memenangkan pujian dari beberapa ahli bahasa top dunia,
termasuk Talmi Givon, Masayoshi Shibatani dan Bernard Comrie, dan telah
diterbitkan oleh perusahaan penerbitan bergengsi, termasuk John Benjamins.
Dia juga co-penulis edisi
pertama Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Standar Grammar dari Bahasa Indonesia)
diterbitkan pada tahun 1988 oleh Balai Pustaka. Di bawah bimbingan ahli
mencatat Belanda bahasa Indonesia almarhum John WM Verhaar, Bambang
menyelesaikan gelar PhD di Universitas Indonesia dengan disertasi Deiksis dalam
Bahasa Indonesia (deixis dalam Bahasa Indonesia).
Setelah itu ia kuliah tamu di
berbagai universitas internasional, termasuk University of Michigan, Ann Arbor,
Institute for Advanced Study, Princeton, New Jersey, Institut Max Planck untuk
Antropologi Evolusi di Leipzig, dan Northern Illinois University.
Rekan-rekannya dan mahasiswa
melihat Bambang tidak hanya sebagai seorang ahli bahasa yang cerdik dan
peneliti teliti, tetapi juga guru kelas down-to-earth yang gemar menggunakan
"siswa-ramah" pendekatan untuk pengajaran bahasa.
Ketika ditanya tentang peran
Indonesia dalam menjadi salah satu pilar penunjang bahasa daerah di Indonesia,
Bambang berpendapat bahwa upaya untuk mengembangkan bahasa nasional harus
seiring dengan upaya untuk meningkatkan penggunaan bahasa lokal.
"Namun, ini tidak terjadi
pada ke-82 Sumpah Pemuda yang baru saja kita merayakan," keluhnya,
menunjukkan bahwa kebijakan resmi dari perkembangan bahasa daerah cenderung
untuk melihat bahasa lokal memiliki peran bawahan.
Bambang menjelaskan bahwa
kampanye pemerintah mempromosikan penggunaan "baik dan benar"
Indonesia, yang terkenal selama era Orde Baru, sering membawa konsekuensi
negatif bagi bahasa lokal negara itu.
"Dengan bahasa Indonesia
dinyatakan sebagai bahasa nasional, bahasa pendidikan, pelayanan publik, dan media
massa, tanpa disadari kita membatasi ruang untuk menggunakan bahasa daerah
sebagai sarana komunikasi antar speaker mereka", katanya.
Panggilan untuk mendesak
orang-orang, terutama generasi muda, untuk menggunakan bahasa Indonesia,
menurut Bambang, akan menyebabkan bahasa lokal harus absen.
"Orang-orang muda akan
merasa tidak layak waktu mereka dan kurang bergengsi untuk berbicara dalam
bahasa ibu mereka jika kita bersikeras mereka berbicara bahasa Indonesia dalam
segala situasi dalam hidup. Kami, bagaimanapun, tidak harus mengabaikan
kenyataan bahwa bahasa lokal atau bahasa asli seseorang adalah bahasa yang
lebih mudah untuk mendapatkan ketika salah satu dibesarkan di sebuah komunitas
berbicara bahasa-bahasa. Semakin sempurna satu master bahasa sendiri, akan
lebih mudah baginya untuk mempelajari bahasa lain.
/3/
PELLBA 5 (Bahasa Budaya)
Pertemuan Linguitik Lembaga Bahasa Atma Jaya kelima ini
memiliki judul spesifik Bahasa Budaya.
Secara keseluruhan buku tersebut berbetuk kumpulan-kumpulan makalah yang di
tampilkan dalam PELLBA 5 yang dilaksanakan pada tanggal 23-24 Juli 1994 dengan
topik dan masalah utama yang menjadi sorotan adalah Bahasa dan Budaya.
Makalah pertama, yang dibentangkan oleh Sutan Takdir
Alisjahbana, menguraikan bagaiman peranan bahasa Indonesia dalam memodernkan
kebudayaan Indonesia. Tantangan yang dihadapi bahasa Indonesia adalah
mendewasakan diri, mendekatkan diri dengan bahasa Inggris, dengan jalan mereguk
segala ilmu yang masih terdapat dalam bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Untuk
menuju ke arah itu, harus dilakukan penerjemahan buku ke dalam bahasa
Indonesia, ttanpa itu menurut Alisjahbana, orang Indonesia "langitnya
rendah" karena hanya pandai bahasa Indonesia. Maka melalui buku-buku
terjemahan itu mereka akan dapat mereguk ilmu pengetahuan modern lewat
bahasanya sendiri, dengan penerjemahan besar-besaran ke dalam bahasa Indonesia,
bahasa Indonesia menjadi semakin kaya dan dewasa di dunia modern.
Makalah kedua, susunan Toety Herarty Noerhadi, mengajak
kita ke perjalanan pemikiran para ahli filsafat sehubungan dengan "bahasa
sebagai penggambaran dunia". Di dalam makalah ini dapat ditelusuri
bagaimana wujud "Dunia" sebagaimana yang tergambarkan lewat bahasa,
bagaimana bahasa membatasi pemahaman terhadap "Dunia" (bandingkan
dengan pengalaman mempelajari bahasa lain yang juga berarti mempelajari "
Dunia Lain".
Makalah ketiga, yang ditulis oleh antropolog. Budi
Susanto, menuntun kita ke pengamatan terhadap kota Yogyakarta, kota keraton,
yang kaya dengan hal-hal simbolik. Penyusun makalah ini mencoba menghubungkan
dalam kaitannya dengan kekuatan atau kekuasaan- menelusuri makna simbol-simbol
kejawaan seperti benteng keraton disatu pihak dengan "bahasa halus"
atau "budi bahasa" didalam bahasa Jawa(termasuk bahasa plesetan)
di lain pihak, "candrasengkala".
Makalah keempat, tulisan Wuri Soedjatmiko, mencoba
mendalami humor sebagai salah satu sarana komunikasi. penulis makalah ini
mencoba meruntut mengapa humor dapat memberikan hasil yang berlawanan. Mengapa
humor yang sama dapat membuat orang tertawa, tetapi pada waktu bersamaan mebuat
orang lain marah-marah? Perunutan ini melibatkan pengamatan humor baik dari
segi linguitik maupun sosio-budaya.
Makalah kelima mengetengahkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh tim psikologi, Suprapti S.M, Tri Iswardani A, dan Saparinah
Sadli, mengenai pemakaian kata-kata emosi. Melalui makalah ini dapat disimak
bagaimana kata-kata emosi tiak hanya digunakan secara berbeda oleh pria dan
wanita, tetapi juga oleh manusia dari budaya yang satu ke budaya yang lain.
Makalah keenam, yang dibawakan oleh seorang budayawan
Dick Hartoko, mencoba menyikapkan, berdasarkan hasil pengamatn membimbing
skripsi mahasiswa, bagaimana bahasa Indonesia dipakai sebagai "selubung
kenyataan". Keterbiasaan memakai bahasa seperti ini, seperti yang tampak
pada penulisan yang berbelit-belit atau berputar-putar, dan tidak
"Straight To The Point" embuat sulitnya mengajak mahasiswa untuk berpikir
secara linear dan untuk dapat mengatakan
sesuatu sebagaimana adanaya.
Makalaha ketujuh, sajian Abdul Wahab, memaparkan ihwal
cerminan budaya di dalam retorika Indonesia. Penulis mekalah ini mencoba
menggali secara lebih dalam lagi persoalan yang disodorkan pada makalah keenam,
dengan bertolak dari pernyataan berikut: benarkah retorika Indonesia diwarnai
oleh pernyataan tidak langung? jawaban dari pertanyaan ini dirunut lewat
penelitian terhadap sejumlah makalah ragam ilmiah.
Makalah kedelapan, yang disuguhkan oleh Asim Gunarwan,
menyikapkan bahwa terdapat perbedaan presepsi si antara kelompok etnis di
Jakarta mengenai kadar kesantunan bentuk-bentuk direktif, bentuk untuk
menyatakan perintah. Penelusuran, yang dilakukan lewat kuesioner itu, juga
mrnyikapkan bahwa tidak semua ujaran tak langsung itu dianggap santun, dan
penetapan kesantunan ini berneda dari kelompok etnis yang satu ke kelompok
etnis yang lain.
PELLBA 6
Pada bagian pertama, analisis wacana, dipaparkan tiga
makalah. Makalah pertama membentangkan sejarah dan perkembangan analisis
wacana, makalh kedua menguarikan analisis wacana dengan seperangkat data baik
lisan maupun tulisan, dan makalj ketiga secara khusus menyoroti analisis
percakapan (conversational analysis).
Dari uraian pada makalah pertama, susunan Dede Oetomo,
dapat diikuti bagaimana kelahiran analisis wacana, yang berkembang menjadi
didiplin ilmu tersendiri, membuahkan medan temu antara linguitik dan ilmu-ilmu
lain seperti psikologi, sosiologi, antropologi, filsfat, ilmu sejarah, hukum,
dan politik.dari uraian sejarahnya tersingkap tokoh-tokoh yang merintis dan
mengembangkan analisis wacana sampai pada penjalinannya dengan ilmu-ilmu lain
diluar linguitik. dari uraian mengenai peristilahan dapat ditangkap bidang yang
merupakan kajian pada analisis wacana.
Pada makalah kedua, Soeseno Kartohardjo menjelaskan
analisis wacana dengan menampilkan contoh-yang diambil dari wacana lisan dan
tulis. Pemaparan data yang dianalisis melibatkan pembicaraan mengenai
peranti-piranti uang digunakan pada waktu menganalisis sebuah wacana. Sejumlah
istilah seperti "infersi", "praanggapan",
"inferensi", "referensi", "kohesi", dan
"koherensi" diulas pengertiannya dengan menerapkannya pada data
wacana.
Pada makalah ketiga, Marcelino mengetengahkan contoh
analisis wacana lisan pada suatu percakapan di sidang pengadilan. Di antara
berbagai pendekatan yang tersedia, pendekatan Grice dipilih untuk disoroti di
dalam makalh ini. dengan menerapkan pendekatan ini pada data percakapan hasil
rekaman di sidang pengadilan Oliver L.North, menyangkut "skandal
Iran" ada masa pemerntahan presiden Reagan, dapat tersingkap penjelasan
mengania maksim-maksim Grice dengan contoh seperangkat data.
Bagian kedua, pengajaran bahasa, berisikan empat makalh
yang pertama mengulas ihwal pendekatan komunikatif, dan tiga lainnya meninjau
pengajarn bahasa sekolah menengah; makalh kedua mengenai pengajaran bahas
Inggris, makalah ketiga pengajaran bahas Indonesia, dan makalh ke empat
pengajaran sastra Indonesia.
Pada makalah pertama, Soenjono Dardjowidjojo merangkumkan
sejumlah pendapat yang kontroversia mengenai apa yang dimaksudkan dengan"
pendekatankomunikatif", yang mulai merasuki dunia pengajaran bahasa
Indonesia semenjak diberlakukannya Kurikulum 1984. Dengan menampilkan kontroversi-kontrversi
itu penyusun makalah menyarankanayunan langkah menuju sintesis. Pemakalh
menhgajak kita supaya tidak bertindak ekstrem. dan supaya
"mendorongpendulum ke tengah"
Makalah kedua, tulisan Muljanto Sumardi, mengwali
tinjauannya dengan memaparkan sejarah pendidikan formal bahasa Inggris disekolah menengah, dari yang semula bebentuk
kursus, "Kursus B-1" "STC" (standard Training Course) sampai sekolah menengah kini. Pemaparan
juga menyertakan uraian mengenai gantu-bergantinnya pendekatan yang digunakan
di dalam pengajaran serta pelbagai buku teks yang beredar.
Pada makalah ketiga J.S Badudu mengetengahkan hasil
tinjauannya terhadap pengajaran bahasa Indonesia di sekolah menengah selama
ini. Termasuk yang direkamnya di dalam makalh ialah pergantian kurikulum yang
berlaku dari masa ke masa, daftar buku teks yang pernah yang beredar, dan guru
yang mengajarakannya.
Makalah terakhir,
susunan Yus Rusyana, meninjau pengajaran sastra di sekolah menengah. Buku-buku
yangmenunjang pengajaran sastra selama ini di daftra dan berpijak dari tinjauan
ini disingkapkan macam-macam kegiatan yang dapat dilakukan pada pengajaran
sastra.
PELLBA 7
(Analisis Klausa Pragmatik Wacana Pengkomputeran Bahasa)
Pada bagian pertama,
analisis klausa, ada tiga makalah.
Makalah pertama mengupas salah satu teori sintaksis yang berkembang semenjak
"Extended Standard Theory", yaitu yang disebut "teori
pengikatan" (Binding Theory), buah pemikiran Chomsky antar 1973 dan 1986.
Makalah kedua memperkenalkan sebuah analisis klausa berdasarkan teori sistemik
Halliday. Makalah ketiga menguraikan pelbagai metode dan teknik menganalisis
klausa.
Dari paparan makalah pertama, susunan Husni Muadz, dapat
kita simak fenomena-fenomena yang dapat dijelaskan denga teori pengikatan.
Sebagai contoh diketengahkan penanganan ihwal anafora dan pronomina, juga
transformasi yang dikenal dengan istilah "pemasifan" dan pengendapan
konstituen" (Raising). Dapat pula kita saksikan bagaiman teori ini
sebenarynya merupakan upaya Chomsky menyederhanakan apa yang semula berupa dua
kendala (Chomsky 1973) menjadi satu kendala saja (Chomsky 1986); dua kendala
itu ialah 'Tensed sentence
condition" TSC dan "Specified Condition" (SSC)
Pada makalah kedua, Francien H. Tomasowa memaparkan
bagaimana klausa di dalam bahasa Indonesia dianalisis dengan menggunakan
pendekatan sitemik (fungsional) M.A.K Halliday. Pendekatan ini meperikutkan
sistem makna di dalam analisis struktural. Satu hal lagi yang meupakan siri
pendekatan ini ialah penitikberatan yang lebih pada unsur-unsur yang terdapat
pada bahas yang tengah di teliti. pengamatan pada suatu bahasa hendaknya
memperlakukan bahasa yang bersangkutan sebagaimana adanya, dan bukannya
memaksakan penerapan kerangka dari bahasa lain.
Pada makalah ketiga, Sudaryanto membeberkan pelbagai alat
atau teknik yang dapat dipakai untuk "membedah" struktur klausa,
dengan menampilkan contoh dari bahasa Jawa, Indonesia, dan bahasa lain. Tidak
hanya pemakaian teknik satu demi satu yang dicoba diperkenalkan, melainkan juga
kombinasi dua tehnik atau lebih. Dengan berbekalkan pelbagai teknik itu
peneliti dapat mendalami pola-pola struktural kalimat apa pun.
Bagian kedua analisis pragmatik wacana, berisikan dua
makalah, makalah pertama, Asim Gunarwan menyajikan hasil penelitiannya terhadap
106 wisudawan Indonesia-Jawa yang tinggal di Jakarta metropolitan. Penelitian
ini menyuarakan bahwa dwibahasawan Indonesia-Jawa di Jakarta adalah
dwibahasawan yang hanya menggunakan satu norma kebudayaan. Ini berbeda dengan
suku Navayo di Amerika Serikat, yang juga bilingual tetapi menggunakan dua
norma kebudayaan.
Pada makalah kedua Irwanto, dengan menggunakan rekaman
perckapan pada keluarga Amerika, mencoba mengamati pola berkomunikasi antara
anak dan orang tua; ihwal yang dipercakapkan berkisar pada remaja yang
menyakahgunakan obat. Penelitan ini mermilih memakai pendekatan
"interaksionisme simbolik" karena lebih mengarah pada penelusuran
makna pesan-pesan yang disampaikan oleh masing-masing anggota keluarga dari
pada pada pengamatan terhadap struktur. Pola berkomunikasi ini diharapakan
dapat menumbang banyak di dalam terapi keluarga.
Bagian ketiga pengkomputeran
bahasa, menampilkan tiga makalah. Pertama Susunan Bambang Kaswanti Purwo, dpat
dirunut upayayang harus ditempuh dan liku-liku persoalannya apabila kita hendak
menghasilkan komputer yang dapat berbahasa Indonesia. Dari uraian pada makalah
ini dapat dilihat bahwa, agar bahasa alami dapat "diajarkan" pada
komputer, informasi mengenai bahasa Indonesia harus dirakit atau
"dikaidahkan" secara lain. Tata bahasa yang dirakit untu komputer
tidaklah sama dengan tatabahasa yang disusun untuk manusia. Ihwal perbedaan
penyusunan kaidah antara kedua jenis tatabahasa itu dicoba dibentangkan dengan
contoh-contoh pada makalah ini.
Makalah kedua, Iping Supriana, dalam upaya mengembangkan
program komputer dengan bahasa alami (bukan bahasa komputer), menawarkan apa
yang disebutnya "sistem amanjemen transformasi gramatika" (SMTG) atau
"gramatika kelas 0). Gramatika ini berbeda dengan gramatika kelas yang
lain dalam hal bahwa sistem ini adalah sistem yang tumbuh dan berkembang, bukan
sistem yang sudah jadi atau selesai. Sitem ini senantiasa siap diperbaharui
stiap kali ditemukan kasusu baru, setiap kali dujumpai masalah menyangkut
bahasa alami yang belum dapt ditangani oleh sistem yang ada.
Makalah yang terakhir, M.H Sudiroatmaja, dengan
"TRUE BASIC" menawarkan program pembentukan kata bahasa jawa dengan
komputer, baik untuk menangani gabungan kata, derivasi, maupun infleksi. Di
dalam makalah ini dipaparkan pula teori linguistik yang mendasari penyusunan
program tersebut, yaitu "morfologi generatif" pasca teori
transformassional-generatif.
/4/
Dari beberapa pemaparan diatas, dapat diambil inti sari
bahwa Bambang Kaswanti Purwo adalag seorang ahli bahasa di Indonesia. hal
tersebut dibuktikan dengan beberapa karya-karyanya yaitu PELLBA 5-7. meski
secara umum ketiga karya tersebut tidak
berupa hasil beliau sendiri namun beliau bertindak sebagai penyunting dari
beberapa karya PELLBA termasuk ketiga karya yang sudah diteliti oleh peneliti.
Selain itu pula hal yang menonjol dari kiprah Bambang
Kaswanti Purwo sebagai ahli bahasa Indonesia ialah peristiwa kebingungan para
pelaku pendidikan di Indonesia mengenai kurikulum baru pada saat itu yaitu
kurikulum 1984. dari situlah kiprah kelinguitikan Bambang Kaswanti Purwo di
mulai. ia aktif dalam upaya penjernihan kebingungan para pelaku pendidikan saat
itu dengan pelatihan dan pendidikan, juga beliau menerbitkan sebuah buku
kebahasaan.
Mengenai ketiga karya beliau, terdapat beberapa hal yang seharusnya
menjadi pertimbangan. pertama adalah perlunya ketiga karya tersebut
mencantumkan hasil dari PELLBA, yaitu hal-hal yang menyangkut tentang sesuatu
yang nyata sebagai upaya ikut serta memberikan sumbangan pengembangan Bahasa
Indonesia secara umum. Karena pada umumnya ketiga buku tersebut seperti
selayaknya sebuah laporan yang menyangkut dan mengumpulkan beberapa makalah
yang kemudian dijadikan satu dan di jadikan buku.
DAFTAR PUSTAKA
Kaswanti Purwo, Bambang,1992. "PELLBA 5 (Pertemuan Linguistik
Lembaga Bahasa Atma
Jaya:5) Bahasa Budaya". Jakarta: Penerbit Kanisius
Kaswanti Purwo, Bambang,1993. "PELLBA
6 (Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa
Atma Jaya:6). "Jakarta:
Penerbit Kanisius
Kaswanti Purwo, Bambang,1994. "PELLBA
7 (Pertemuan Linguistik Lembaga Bahasa
Atma Jaya:7) Analisis Klausa Pragmatik Wacana Pengkomputeran
Bahasa" Jakarta:
Penerbit Kanisius
Komentar
Posting Komentar
Salam kenal 😊 Terima kasih sudah berkomentar. Sering-sering mengecek postingan terbaru dari www.omahloretan.blogspot.com yaa 😊