Dirgahayuu



Jika kata netizen kisah Milea dan Dilan sangat romantis, saya tak peduli. Sebab, kalian tahu, PIH lebih romantis. Terima kasih teman-teman... 😊



Ada banyak sebab bagian tubuh kita yang bernama mulut dan gigi membentuk simpul yang enak dilihat. Ya, membentuk lekukan sedemikian rupa yang dikenal dengan senyuman. Benar. Itulah tersenyum alias senyuman.

Kali ini bukan hal-hal lucu sekaligus aneh yang membuat saya tersenyum. Jauh bukan perkara hal yang dinamis alias aksi gerak yang tak terlupakan. Namun, sebuah benda statis yang dinamai foto.

Laju perkembangan teknologi yang kian cepat begitu terasa dalam kehidupan sosial saat ini. Saat ini momen-momen apalah itu selalu bisa terdokumentasi dengan baik oleh peranti yang dinamai gawai ini. Ya. Gawai.

Tanggal 19 Januari menjadi bukti semua itu. Ya, pada tanggal tersebut saya memperingati hari kelahiran. Hari saat suara tangis saya pecah karena tak ingin berpisah dari baunya surga. Karena harus menjalani hukuman di bumi. Tepat tanggal 19 Januari saat pagi.

Momen peringatan itu, lantas kami rayakan bersama dengan teman-teman kantor. Dengan ritual sederhana, namun tak ternilai harganya.

Ya, seorang kawan membawa kue tar lengkap dengan dua lilin yang menyala. Ia menunggu untuk ditiup, lalu mati.

Saya selalu menanyai mereka, ritual-ritual itu kapan dan siapa yang memulai tradisi ini. Tapi, lagi-lagi pertanyaan itu tiba-tiba menguap tanpa ada satu kepastian jawaban yang jelas.

Tibalah saya disodori lagi satu pertanyaan. Kapan "make a wish" itu dimulai pula? Satu pertanyaan belum terjawab, satu pertanyaan muncul.kembali. Mantab..

Ya, dua rekan kantor saya menyodori dua lilin menyala. Tidak di atas kue, melainkan langsung dipegang tangan. Kuenya keras memang, jadi berkali-kali ditancapkan, ia tak lekas menancap. Ya sudahlah... Ungkap kawan-kawan saya tadi.

Namun,  bagi saya, itu adalah sebuah bahasa Tuhan. Yang sengaja berasal dari ketidak sengajaan. Semacam fenomena itu tadi.

Dua lilin yang menyala itu seolah menegur saya tentang kekejaman sebuah waktu. Ia mirip dengan api yang melahap lilin yang menyalakannya. Seperti halnya, kita menyalakan waktu kita masing-masing di dunia ini. Dan, waktu itu pula yang akan mrnghabiskan kehidupan kita kelak.

Sederhananya, saya memang dituntut dan diminta instrospeksi diri. Mengaca pada kaca besar untuk dapat melihat lekuk diri dari ujung rambut hingga kepala. Dan, terima kasih dua lilin kecil itu. Telah mengingatkan dan menamparku berulang-ulang.

Momen berikutnya adalah meniupnya, lantas disambut tepuk tangan. Itulah momen puncaknya. Saat kita diberikan kesempatan berkumpul dengan orang-orang baik.

Dan, kita memang harus sangat percaya pada rejeki Tuhan. Dunia ini boleh dihiasi dengan problematika hidup yang beraneka rupa. Namun, rejeki itu selalu ada. Salah satunya berwujud kekompakan dan kekeluargaan dalam lingkungan.pekerjaan. Sepertihalnya yang saya rasakan dalam keluarga Pusat Informasi dan Humas (PIH).

Dan, PIH, bagi saya selalu punya cerita. Ia adalah kegaduhan sekaligus ketenangan. Merupa tangan-tangan yang saling menopang tanpa ada sebuah penegasan. Ia meliar, tapi mengait membuat simpul-simpul nan syahdu dan romantis. Terima kasih telah dipertemukan dengan orang-orang sangar di jagat Korea Utara dan Selatan. Sebuah dunia maya yang sangat nyata. Jika kata netizen kisah Milea dan Dilan sangat romantis, saya tak peduli. Sebab, kalian tahu, PIH lebih romantis. Terima kasih teman-teman... 😊





Komentar