Cerita Mau Bikin Kaos Organisasi



Di dalam sebuah ruangan kecil berukuran 4 x 3 m, kami berdiskusi perihal tema buletin yang bakal terbit di dua minggu terakhir bulan Juni. Sebagai mahasiswa yang berkecimpung di dunia pers kampus, ada banyak hal termasuk risiko yang mesti kami pikiran matang-matang untuk sekadar mengutarakan unek-unek.

Darwin tiba-tiba nyeletuk ingin mengangkat tema komersialisasi kampus. Aku dan Sitor seketika saling berpandangan. Memang teman kita satu ini suka punya ide yang bagus. Meski, kadang gila,nekat, dan ngawor.

Tapi, kali ini idenya memang lumayan. Beralasan dan menarik. Mengingat, kampus kami tengah beredar isu adanya kenaikan biaya kuliah.

"Kita juga perlu memikirkan cara yang lebih efektif untuk menunjukkan identitas kita sebagai pers mahasiswa"

"Nggak cukup hanya dengan lembaran asu, yang bikin kita misoh-misoh karena print kita sering rusak"

"Kita memerlukan legitimasi politik untuk sekadar memberitahu arah ideologi pers kita sebagai penggonggong di kampus"

Kami bertiga celingukan mendengar si Patrik ngomong dengan manggut-manggut bersama headset besarnya itu. Sesekali kami saling melempar senyum melihat tingkah Patrik yang aneh, antara ngomong sendiri apa mengajak bicara dengan kami.

"Heh..."
Ujar Darwin sembari melambai-lambaikan tangannya.

"Bagaimana?"
Sahut Patrik sambil melepas headset putih kesayangannya itu.

Kali ini aku sangat bisa menangkap arah pembicaraan si Patrik. Sebagai pakar seni di kamar redaksi ini, aku dan Patrik memang cenderung kerap sepaham. Kami berdua cenderung suka dengan penggunaan simbol-simbol berupa seni dalam mengkritik. Ilustrasi, grafis, sampai melalui kaos-kaos.

"Kita perlu segera membentuk gerakan psikologi pemikiran dan dukungan terhadap kerja-kerja kita"
Tambahku menimpali Patrik.

"Lebih tepatnya kita turut memberikan rangsangan pada teman-teman kita, mahasiswa-mahasiswa untuk berada di barisan yang sama dengan kita. Di mana? Di garis para anjing-anjing galak di seberang rektorat dan dekanat"
Imbuh saya lagi.

"Jancok, temanya kita jadi bagaimana?"
Ujar Darwin dengan kesal.

Dan pada titik ini, aku dan Patrik tersenyum. Kami seolah bisa bicara tanpa saling mengutarakan. Kunci lanjutan diskusi malam ini berada di Sitor. Jika Sitor ikut nimbrung perihal bahasanku dengan Patrik, artinya kami menang. Jika sebaliknya, kami berati kalah.

"Bener deh, sekarang ini bukan jamannya orde baru yang penuh dengan pengawasan. Kita perlu secara terbuka dan tegas tentang sikap kita. Ideologi kita. Piye, wes ayok ndang dibahas"
Kata Sitor.

Aku dan Patrikpun langsung berdiri sembari mengangkat tangan. Layaknya baru saja mendapat piala award. Kami berdiri dan menyampaikan terima kasih sambil berdada-dada.

"Wo.. Penyakit e munyok dho kumat maneh,"
Ungkapan kesal dari si Darwin.

Ya, memang sering di ruang redaksi kecil kami ini arah bahasannya random. Awal bahas apa, di tengah bahas apa, dan di akhir kesimpulannya apa. Tapi, ya begitulah, semuanya bisa beres dan buletin sebagai produk utama kami selalu sampai di tangan-tangan yang tepat.

"Sek to, kita bahas tema buletin dulu. Kasaran gak papa. Nanti pas para perempuan gabung, kita punya bahan,"
Ungkap Darwin kembali.

"Untuk tema, sementara itu dulu, Min. Ini mumpung aku lagi panas untuk mbahas kaos yang sdah kita rencanakan sejak awal tapi gak pernah selesai-selesai,"
Kataku.

"Inspirasi perihal seni iku kayak cinta. Datang sak penak udele dewe. Jadi, mumpong aku juga panas iki,"
Tambah si Patrik menimpaliku.

"Alah taek, wes kono pie enak e. Bagaimana dan apa yang segera kita lakukan,"
Ujar Darwin dengan nada menyerah.

Dan, aku bersama Patrik menjelaskan panjang kali lebar soal kaos yang dimaksud itu. Layaknya narasumber, kami bisa satu tema, visi, dan alur mikir serupa. Akhirnya kami sepakat mau bikin kaos kayak.di bawah ini. Minat? Komen di bawah postingan.








Komentar