Bima, Mega, dan Cuci Tangan

Sumber: intiruh.com

Tapi, yang terpenting dari semua itu adalah menghargai dan menjaga perasaannya. Di manapun, kapan pun dan dalam kondisi apapun.




"Sek-sek jajal cuci tanganmu wes bener opo durung?" ungkap teman saya di kantor pada suatu siang seusai dia kembali dari toilet.
"Penting iki. Aku wingi search delok tutorial. Benere pie" tambahnya lagi, kemudian memperhatikan saya.

Ketika itu, saya memang tengah mengambil cairan pembersih tangan. Mendengar itu seperti ada sebuah tantangan dan tanpa basa-basi saya lakukan.

"Woh, wes iso arek iki. Kok ngerti carane cuci tangan? tanyanya kembali dengan sedikit penasaran.
"Wo, iyo tekan berita seng mok tulis. Lek gak ngono meme cuci tangan seng mok gawe iki mestian" katanya lagi menerka-nerka.

Saya tak langsung menjawab. Dari pernyataan itu pula, pikiran saya langsung teringat dengan satu cerita teman saya. Bagi saya lumayan menarik.

...

"Minggu ini kamu pulang?"

"Iya, aku pulang Jum'at. Berangkat pagi."

":) temeni aku hari Sabtu ya."

"Ke mana? Katamu minggu ini sibuk?"

"Emang sibuk. Makanya, pokoknya temeni aku. Tak jemput. Pagi. Jangan mbangkong."

"Iya, oke. Ke mana?"

"Ke SD, temeni dan bantu kerjain penelitian KTI-ku :)"

"Belum selesai, penelitianmu? Oke."

"Kurang sedikit. Yay :)"

Perempuan itu cukup banyak alias sering memberikan pertanyaan yang berbau todongan!! Pikiran Bima menerawang usai menerima pesan singkat dari Mega, pacarnya, di dalam kereta saat perjalanan pulang. Sulit menemukan kata menolak di kamus, memang. Jika harus berhadapan Head to Head dengan perempuan, pacarnya ini. Pikiran Bima kembali menerka-nerka.

Hari ini Bima pulang ke kampung. Setelah lumayan lelah bergelut dengan dunia kampus beserta tetek bengeknya di Bandung. Rumah dan segala sesuatunya memang selalu menyimpan banyak kekuatan. Selalu ada sisi magis untuk mendulang kekuatan baru. Salah satunya bertemu kekasihnya, Mega.

Mega adalah seorang mahasiswi politeknik keperawatan semester akhir. Keduanya terpisah berpuluh-puluh kilometer jarak dalam menjalani hubungan.

...

Paginya Bima bergegas menyiapkan diri untuk menemani pacarnya. Mega begitu tak menyukai keterlambatan. Meski, bangun pagi bagi sebagian laki-laki cukup sulit dilakukan. Terutama usai melakukan perjalanan cukup jauh dan diserang kecapekan.

Membuat pacarnya bad mood gara-gara terlambat malah justru sangat merepotkan, pikir Bima. Ya, mungkin Mega terbiasa tumbuh dalam lingkungan yang sangat memperhatikan disiplin waktu, dunia keperawatan.

"Rumah gak ada orang?"

"Iya udah pada berangkat, barusan. Tunggu ya"

"Cepetan."

Mega memang lumayan terbiasa ke rumah Bima. Dia juga lumayan akrab dengan keluarga Bima. Menebus rindu saat berjauhan juga sering dilakukan di rumah Bima.

Kali ini Mega mengenakan seragam perawatnya lengkap. Ia tampak profesional dan manis. Tugas Bima menemani Mega melakukan penelitian di SD tetang perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) di lingkungan sekolah.

Mega beberapa minggu ini memang disibukkan dengan urusan KTI. Penelitiannya fokus pada sosialisasi PHBS di lingkungan sekolah. Jadi, ia membentuk kader PHBS di SD dan melakukan sosialisasi serta pembiasaan berperilaku sehat.

"Selamat pagi ibuk.."

"Pagi, ow Mbak Mega, iya mbak silahkan. Anak-anak sudah menunggu di perpustakaan. Lho, ini siapa?"

"Temen buk, hehe"

"Pagi buk.."

"Owalah pacarnya to? Gpp lho Mbak Mega. Iya mas"

Kesempatan itu memang baru kali pertama bagi Bima bisa menemani pacarnya. Mengingat, Bandung lumayan jauh. Bima pun jarang pulang. Sehingga cukup sedikit kesempatan dan waktu untuk bisa melakukan hal semacam itu. Mungkin ini juga menjadi salah satu alasan bagi Mega kerap bad mood dan marah-marah tanpa sebab yang jelas. Pacarnya terlalu sibuk di Bandung dan gak pulang-pulang.

"Selamat pagi adek-adek.. Sudah jajan semua kan?"

"Pagi Mbak Mega.. "

Bima duduk di sebelah Mega. Saat itu memang kekasihnya lebih membentuk semacam kelompok belajar. Jadi posisinya berdekatan, lebih tepatnya melingkar.

"Masih ingat perilaku hidup bersih dan sehat apa saja?" Kata Mega yang terlihat keibuan, sabar, dan penyayang. Bima begitu menikmati gestur kekasihnya itu. Maklum, Mega memang termasuk perfeksionis. Jadi, melihat semangatnya mengajari anak-anak SD cukup membuat Bima ikut bersemangat, lebih tepatnya ada rasa bangga.

"Baik sekarang, Mbak Mega ditemeni temen ya, kita belajar mencuci tangan yang baik dan benar. Namanya Mas Bima."

"Halo semuanya," Kata Bima sembari celingukan.

"Bantu, ajari anak-anak. Ikuti aku" ujar Mega sembari berbisik ke Bima.

Merekapun tampak kompak sembari bercanda saat mengajari anak-anak kader PHBS itu. Sesekali, Mega terlihat begitu menikmati kebersamaan dengan Bima dalam moment yang tidak romantis alias tidak hanya untuk mereka saja. Namun, waktu untuk hal lain, tapi juga sebagai momen berkasih. Bima pun akhirnya juga dapat belajar tentang perilaku hidup sehat dasar semacam mencuci tangan itu. Dan, baru hari itu dia mengetahui bagaimana mencuci tangan yang baik dan benar.

"Selanjutnya, Mbak jelaskan materi baru tentang jajanan sehat. Sebelumnya, coba satu-satu gantian praktik cuci tangan ya."

Bima kembali duduk di samping Mega. Sesekali, Bima membantu mengambilkan materi di tas Mega. Bima terlihat telaten membantu Mega. Keromantisan itu begitu tampak meski tidak dibuat-buat.

Salah seorang anak SD itu, perempuan cukup cantik, kelas VI mencuri-curi pandang melihat keromantisan Bima dan Mega. Bahkan, sesekali menatap tajam Bima yang memperhatikan Mega, kekasihnya. Sesekali anak SD itu juga memperhatikan dengan seksama Bima. Bima beberapa kali juga bingung harus gimana, alias risih.

Seperti halnya anak pada umumnya, mungkin si anak perempuan penasaran. Termasuk bertanya-tanya. Misalnya, soal konsep pacar yang mereka terima dari televisi. Soal konsep laki-laki dewasa yang seolah boleh ngapa-ngapain, yang gak belajar terus, gak ngerjakan PR, dan semacamnya. Sehingga melihat Bima dan Mega menjadi sesuatu yang menarik. Dalam benak mereka, ini ya pacaran itu. Terutama melihat Bima sebagai sosok laki-laki kuliahan yang seperti mereka lihat di film FTV di televisi. Ini ya, anak kuliahan itu? Begini ya, pakai baju sesukanya, gak pakai seragam, dan yang lainnya. Pikir anak perempuan itu.

"Kamu kenapa melihat-lihat Mas Bima?" Ketus Mega kepada anak perempuan itu.

Bima langsung tahu gaya pacarnya yang demikian. Tanda dia mulai gak enak. Bima lebih memilih diam.

"Ini diperhatikan dulu ya" Imbuh Mega kepada anak perempuan itu agak sinis.

Dan akhirnya kegiatan itu selesai. Namun, Mega tampaknya menjadi bad mood gara gara gak terlalu diperhatikan anak-anak itu. Lebih tepatnya kejadian anak SD, terutama perempuan, malah lihat Bima, kekasihnya.

"Kamu di Bandung pasti suka dilihatin cewek dan kamu ikut ngelihatin juga ya? Ucap Mega dengan ketus sesaat sebelum Bima mengegas motornya untuk pergi.

" Gak lah, ngapain"

"Jangan bohong, pasti kamu suka main mata"

"Ya ampun sayang. Aku kan sdah punya kamu. Ngapain juga. Habis gini makan yok. Kamu pengin apa?

"Preettt. Awas kamu aneh-aneh. Makanya kamu jaran pulang. Aku gak laper. Kita ke kos aja."

"Aku sibuk BEM, sayang. Jangan berpikir aneh-aneh ah. Kamu belum makan lho,"

Dan akhirnya Mega tak banyak bicara. Sementara, Bima menjadi bingung harus gimana. Sebab, setiap upayanya mengajak bicara selalu berujung pada perdebatan soal LDR, definisi pacar, sampai kemarahan Mega yang gak jelas dari mana asalnya.

Terkadang memang tampak sepele. Hanya anak perempuan SD. Tapi kecurigaan terhadap pacar itu seolah kian terpupuk. Dengan logika perasaan dari Mega yang tiba-tiba muncul. Apa si Bima di Bandung selingkuh? Dekat dengan perempuan lain? Sering tak berkabar karena perempuan? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang tiba-tiba muncul di benak Mega. Ujungnya Mega mengalami badmood.

Dan, Bima selalu tahu tanda-tanda itu. Ia memilih diam dan sesekali menimpali pernyataan serta pertanyaan pacaranya dengan kata “iya“. Bukan yang lain.

Itu bukan apa-apa. Ungkapan perasaan cinta Mega ke Bima yang kuat saja. Namun, ya begitulah tantangan berhubungan dengan Mega. Dan, Mega wajar dan memang sepatutnya demikian.

Pada akhirnya, Bima harus mengakui bahwa mencintai Mega itu tak cukup dengan memberi waktu untuknya. Tapi, yang terpenting dari semua itu adalah menghargai dan menjaga perasaannya. Di manapun, kapan pun dan dalam kondisi apapun. Meski, Bima berada dalam posisi yang sedang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja sekalipun. Iya, benar. Itulah. Tidak ada yang lain. Sebab, kata Sudjiwo, Tuhan menciptakan tangis perempuan supaya laki-laki lupa dengan tangisnya sendiri. Termasuk perkara memikirkan perasaan.


Kalau menurutmu, bagaimana?


Komentar