Postingan

"Manusia Indonesia" Menurut Mochtar Lubis

Gambar
Ada enam sifat "Manusia Indonesia" yang ia kemukakan saat itu. Yang kemudian, paparan pidato Mochtar Lubis itu diabadikan melalui buku berjudul "Manusia Indonesia".  Pada 6 April 1977 dalam sebuah Pidato Kebangsaan di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Mochtar Lubis membuat geger kawan-kawannya. Budayawan, penulis, penyair, bahkan birokrat dan masyarakat. Ia menyampaikan dengan tegas dan lugas sifat-sifat manusia Indonesia.  Atas pidato kebangsaannya itu, muncul beragam respons di masyarakat. Ada yang pro dan ada yang kontra. Namun setidaknya, paparan Mochtar Lubis itu menjadi salah satu bahan kritik terhadap kita sebagai bangsa dan manusia Indonesia. Menjadi salah satu bahan diskusi tentang keindonesiaan kita. Terutama berhubungan dengan sikap kritis terhadap gejala sosial budaya dari masa ke masa.  Ada enam sifat "Manusia Indonesia" yang ia kemukakan saat itu. Yang kemudian, paparan pidato Mochtar Lubis itu diabadikan melalui buku berjudul "Manusia

Buku Saku Covid-19 Tahun 2020

Gambar
Ilustrasi: Feri Fenoria Buku Saku Covid-19 ini berisi pengetahuan serta panduan prosedur pencegahan Covid-19. Yang membedakan buku ini dengan yang lainnya adalah pengunaan simbol grafis dalam setiap tema pengetahuan dan panduannya.  Buku ini sengaja di desain dengan apik dan menarik. Tujuannya adalah masyarakat didorong untuk tertarik atas pengetahuan terhadap Covid-19. Terutama perihal sejarah singkat, gejala yang biasanya muncul, langkah yang harus dihindari dan dilakukan, serta panduan isolasi mandiri bagi yang dinyatakn positif. Buku ini sudah diperbanyak oleh sejumlah instansi pendidikan dan pemerintahan. Semoga buku ini dapat menjadi bagian dari upaya dan ikhtiar bersama-sama seluruh elemen bangsa. Khususnya dalam upaya mengurangi Covid-19. Semoga bermanfaat. 

Merokok di Bawah Gedung 21 Lantai

Gambar
Foto: medium.com Ada banyak alasan kita merasa capek. Lalu, orang lain juga capek lho. Bukan kamu saja. Orang lain juga. Mereka juga merasa sumpek lho. Kesal juga lho. Jangan pernah egois ya.  Kali ini Jangger benar-benar merasa kepayahan. Seusai pekerjaan yang bisa dikerjakannya selesai, ia langsung bergegas menjauhi meja kerja dan seisinya. Entah kenapa, dalam kondisi kalut, apapun yang berhubungan dengan kerjaan yang belum usai itu tampak menjadi sangat memuakkan. Lepaskan, ungkap hati si Jangger. Keluar gedung dan menyalakan sigaret selalu menjadi salah satu obat mujarab yang bisa dilakukan si Jangger dalam kondisi itu. Bergegaslah ia ke lift dan turun ke lantai 1, selanjutnya pergi ke pojok gedung, lalu duduk di kursi berderet dan menyalakan sigaret dengan korek api. Diisaplah sigaret itu dengan kemelut pikir yang mengendap-endap mencari jawaban. Tak selang berapa lama, si Munip menyusul. Salah seorang kawan kantornya yang kurang lebih memiliki hobi sama. Menghabisk

Telepon

Gambar
Ilustrasi pribadi Kini saya hanya bisa mengakhirinya dengan ungkapan “kita hanya bisa saling memahami dengan ketidakpahaman masing-masing” Kalau sampeyan pngen tahu sekarang jam berapa? akan saya sampaikan sekarang jam 11.38. Kamis malam ini tanpa setetes air mata jatuh dari kepolosan sang langit. Disertai sayup-sayup suara sang maestro pendobrak Iwan Fals, hati ini terus bergetar tak berarah, sumpah. Kalian sebut alay terserah, yang jelas, saya merasa sangat resah.  Sebelum ini, seorang kawan tiba-tiba menelepon saya. Sudah dua kali dia mencoba menelepon. Pertama, dia menggunakan jaringan telepon, tapi hasilnya, kami ha-he ha-he gak jelas. Sebab, kekuatan sinyal tak memberi kami ruang untuk saling bertukar kabar. Sinyalnya buruk atau memang hp kami yang gak jelas. Dia tak mati akal. Kedua, ia menggunakan jaringan Whatshap. Saya pikir akan ada sesuatu yang sangat penting atau hal yang urgen akan ia sampaikan kepada saya. Sebab, sebelum ini ia tak biasa menelepon saya. Te

Bima, Mega, dan Cuci Tangan

Gambar
Sumber: intiruh.com Tapi, yang terpenting dari semua itu adalah menghargai dan menjaga perasaannya. Di manapun, kapan pun dan dalam kondisi apapun. "Sek-sek jajal cuci tanganmu wes bener opo durung?" ungkap teman saya di kantor pada suatu siang seusai dia kembali dari toilet. "Penting iki. Aku wingi search delok tutorial. Benere pie" tambahnya lagi, kemudian memperhatikan saya. Ketika itu, saya memang tengah mengambil cairan pembersih tangan. Mendengar itu seperti ada sebuah tantangan dan tanpa basa-basi saya lakukan. "Woh, wes iso arek iki. Kok ngerti carane cuci tangan? tanyanya kembali dengan sedikit penasaran. "Wo, iyo tekan berita seng mok tulis. Lek gak ngono meme cuci tangan seng mok gawe iki mestian" katanya lagi menerka-nerka. Saya tak langsung menjawab. Dari pernyataan itu pula, pikiran saya langsung teringat dengan satu cerita teman saya. Bagi saya lumayan menarik. ... "Minggu ini kamu pulang?" "Iya, a

Puisi: Senja

Gambar
Senja kembali bersolek Membuat linglung Insan-insan yang ingin menghentikan waktu, Memapah mereka kepada ke-antara-an Ujung waktu yang tak terburu-buru Keindahan itu benar menghunus Melesat dalam ruang-ruang tak beraksara Membuat jeda yang terbata-bata Mereka tak pernah sadar Bahwa ada saling ungkap dalam diam Ada ucap yang saling tatap Di antara tulus dan jujur Namun, definisi itu begitu terbatas Termasuk realitas itu sendiri Pada akhirnya, mereka menyerah Memilih tengelam Terlelap oleh waktu yang kelu Sampai keduanya bertemu Memulai satu perkenalan baru Saling mengenal dengan tatapan malu-malu

Puisi: Mereka, Biarlah Biar

Gambar
Dalam keramaian, Kita mengeja dunia kita sendiri Yang tak mengenal hohohihe media sosial Apalagi kesibukan pejabat menata panggung Aku hanya ingin mengajakmu Ya, mengajakmu Mencecap kesepian dalam keramaian "Kau terlalu melankoli" Katamu Mungkin saja, Atau, narasi yang terlalu definitif? Entahlah, Setidaknya aku mencari sesuatu "Lalu, kenapa kau mengajakku? Katamu lagi Sederhana, Karena aku memang mencarimu Dan, yang kucari selama ini Itu saja Ya, benar itu saja "Tanpa alasan lain? Tanyamu lagi Terlalu beralasan, terkesan transaksional Bukankah cinta tak perlu banyak karena? Malam ini, aku ingin bersamamu Itu saja, Sampai nanti Semoga kelak, Kita tak pernah saling mencari kembali Cukup hari ini Biarkan, mereka

Sebelum Ranukumbolo

Gambar
"Ya Allah wes meh teko yo. Iyo ketok kae tendo-tendone," ungkap teman saya gembira. Kala itu gerimis, medan lumayan menanjak. Jalanan juga begitu becek. Tak ayal beberapa kali sepatu teman saya terlepas. Dalam kondisi sangat dingin, malam hari dan minim pencahayaan, kami berupaya sampai pada waktunya. Ya, kala itu pukul 1.15 dini hari. Kami sampai di punggung bukit di depan Ranukumbolo. Tepatnya jalur sebelum atau menuju pos 4. Kala itu saya bertiga. Bersama dua teman perempuan saya. Kami terpecah saat berada di jalur menuju pos 4. Total rombongan sepuluh orang. Cuaca saat itu sangat tidak mendukung. Ditambah suasana capek dan ingin segera sampai dan istirahat. Rombongan bersepuluh terpisah jadi dua rombongan. Tujuh orang sudah di depan. Saya bertiga di belakang. Ego mesti dijauhkan dalam kondisi lumayan buruk saat itu. Saya mengambil posisi di belakang saat jalanan datar. Sementara,saat jalanan menanjak, saya mengambil posisi di tengah. Benar, tanjakan menj

Puisi: Mencumbu Jeda

Gambar
Dan, saat ini masih ada muram di antara kita Memaksa ada jarak Menepi Memberi ruang untuk berkontemplasi Sebelumnya, Kau dan aku begitu membenci jarak Tak pernah ada tempat untuk kita saling melepas Dalam napas sekalipun Namun, kehidupan tetaplah kehidupan Yang terkadang Selalu ada banyak cara menyerah pada lupa Berpikir untuk tak pernah benar-benar berpikir Dan, akhirnya Dalam itu tak cukup di bawah permukaan Seremonial itu sangat rapuh Tanpa ada kesadaran Ia hanya bisu dan kosong yang mengulang Kita akan tetap bertemu Dan akan lebih mahir mencumbui pertemuan Ku harap kau siap menemuiku