Postingan

Yang Kami Sebut Blakontang

Gambar
Sumber: google Menyusuri jalanan desa,  tiga anak kecil sangat teliti mengamati gundukan sampah di pinggir jalan.  Saat itu pukul 13.00, sepulang sekolah,  seorang menaiki sepeda sembari meneteng tas kresek plastik hitam.  Dua anak lainnya berjalan beriringan di sisi kanan dan kiri jalanan. Fokus mereka tetap sama, mendolog pada tumpukan-tumpukan sampah. Tong-tong sampah yang tertutup pun bakal mereka endus, lantas buka dengan pandangan tajam. Ketiganya sangat berharap tas plastik hitam yang disematkan pada stang sepedah bercat hitam itu terisi penuh. Ya,  terisi penuh dengan bungkus-bungkus rokok yang berharga mahal. Pemulung?  Bukan. Mereka adalah anak-anak polos yang tengah menempuh pendidikan dasar. Untuk mereka,  bungkus-bungkus rokok itu menjadi alat transaksi dalam permainan kerakyatan. Blakontang biasa mereka menyebutnya. Sebab,  bagi ketiganya, hal tersebut sangat penting.  Tak sembarangan bocah bisa berimajinasi dengan barang-barang bekas murahan semacam itu.  N

Randu yang Menggebu

Gambar
http://www.caradesain.com/14-foto-indah-lampu-di-malam-hujan/ RANDU melihat jam digital yang terpasang di salah sudut kantor. Ia melihat dua titik berkedip di antara angka 00 dan 01. Lantas, pandanganya mengamati dan mencari seorang senior perempuan yang duduk di seberang pintu keluar. Dia belum pulang, pikirnya. Masak, kalah dengan dia, pikirannya terus menerawang dan menganalisis tindakan yang akan dilakukan berikutnya. Lumayan lama ia memperhatikan keadaan sekitar. Dipandangnya tumpukan koran-koran bekas di pojok kantor. Diciumnya harum wangi godaan aroma tubuh perempuan yang barusan nyelonong lewat di belakangnya. Cantik, seksi, otaknya kira-kira berkata. Ia juga serius mengamati layar monitor berukurun 12 inci yang di salah sudutnya tertulis "Bekerjalah dengan hati, jangan setengah-setengah". Sebentar pula, ia selalu berjalan menyusuri dimensi waktu mengingat gadisnya yang mengatakan itu saat berpesan pada hari ulang tahun. Ini pesan atau todongan, tanya Randu kemb

Di Tingkat Mikro, Kedaulatan Pun Penting

Gambar
Ilustrasi: Feri Fenoria Karcis parkir dua ribu tanpa kembalian membuka lakon saya sinau dengan Cak Nun. Balai Pemuda Surabaya pukul 23.00 kala itu, saat saya tiba, sudah lumayan ramai. Meski demikian, dari lamat-lamat alunan sound system yang terdengar ketika memarkir kendaraan, suara yang mengisi masih bukan Cak Nun. Alias, Cak Nun belum munggah atau naik panggung memberikan petuah-petuah. Syukur,  belum ketinggalan. Saya sangat berharap, malam itu isu yang bakal diangkat tentang Jawa. Ya,  minimal soal Jawa lampau atau nilai-nilainya. Namun,  setelah mendapat tempat di pojok sayap kanan belakang panggung,  saya menyimpulkan, dini sebenarnya,  harapan tersebut ternyata salah. Itu saya dapati dari diskusi pembuka yang digelar. Yakni,  bicara soal zalzalah, hiperpesimistis sindrom sebenarnya. Ada Ukhti dan Anak-Anak Sembari menunggu Cak Nun naik,  kepulan rokok yang bersahut-sahutan dari setiap bagian kerumunan masa menarik untuk diperhatikan. Juga,  seloroh "pento

Puisi: Indonesiaku

Gambar
Sebelum ini... Kami mengenalmu di pagi yang buta Kami melepasmu di senja yang merona Pada gelap,  kau terjaga... Menjaga putra putrimu yang sering lupa Indonesiaku.. Tahu,  kami .. Sabang adalah perkasanya tangan kananmu Merauke,  kukuhnya tekad di tangan kirimu Miangas adalah kepalamu yang lugu, namun tak palsu Dan, Rote, kaki-kaki tekadmu yang menyokong kewibawaanmu Indonesiaku.. Kami setuju.. Bahkan sangat sepakat dan sangat setuju Kau begitu jelita.. Kau begitu rupawan... Dan, anggapnya khalayak, Kau sungguh menawan.. Bak potongan surga yang diciptakan Namun,  Indonesiaku... Putra-putrimu mulai lupa, Mulai berkerah hanya untuk kepalsuan Bahkan,  menyulut kesakitanmu melalui kebanggaan dan kesengajaan Indonesiaku.. Kami rindu,  Kami termangu di ujung jendela dengan rintik hujan yang merdu Beberapa mata kami tiba-tiba berair, Dengan mulut yang berkatup dan hati yang meletup Indonesiaku... Maklumkanlah... Beri kejernihan pada pikiran dan hat

Cuci Gudang (Nya Kenangan)

Gambar
Masa lalu adalah tangga.  Tangga yang membawamu ke atas puncak yang berujung.  Kadang pula membawamu pada kebuntuan.  Yang keras,  sangat keras, bahkan tak terdefinisikan. Masa lalu adalah tangga.  Tangga yang membawamu ke atas puncak yang berujung.  Kadang pula membawamu pada kebuntuan.  Yang keras,  sangat keras, bahkan tak terdefinisikan. Yang dibutuhkan untuk mencapai puncak  hanya satu. Keberanian yang militan.  Untuk merangkai tiap keping-keping yang lusuh dan sangat buruk menjadi sebuah bentuk yang kau yakini sebagai akhir dan titik dalam hidupmu- Kisah malam Jum'at bersama kopi, rokok,  dan seorang kawan. Beberapa hari ini saya mengambil cuti.  Hanya tiga hari untuk mengembalikan energi dan berkunjung ke beberapa tempat.  Satu hari untuk keluarga. Satu hari untuk kakek nenek,  dan  satu hari untuk teman-teman. Artinya,  tidak berkunjung ke tempat-tempat instagramable semacam gunung,  pantai, tempat rekreasi, dan tempat-tempat hits lainnya. Meski sebenarnya

Urip Werno-Werno

Gambar
Namanya bukan manusia jika senang berkomentar dan kadang tak ingin dikomentari.  Namun,  hal itu tampaknya memang sudah menjadi naluri yang harus disalurkan oleh mereka. Bukan cuma saya,  Anda pasti sering mendengar komentar miring soal teman atau orang lain. Dan,  pada akhirnya,  kita sering tak sadar untuk ikut berkomentar pula. Padahal,  komentar itu adalah hal yang subjektif. Yang kadang tak pernah dekat dengan kebenaran. Dalam kehidupan,  kebenaran terbagi menjadi tiga.  Yakni,  kebenaran individu,  kelompok,  dan kebenaran mutlak. Tiga hal itulah yang sering memicu terjadinya sikap saling membicarakan satu dengan yang lain. Keberbedaan dan ketidaklaziman sangat berpotensi menimbulkan ujaran perkomentaran.  Padahal,  tidak semua hal bisa dipahami manusia satu dengan yang lain.  Apalagi dengan menyamakan semuanya. Ibarat sebuah laptop,  kemampuan sofware sangat menentukan pembacaan terhadap file tertentu. Tak ubahnya dengan manusia,  apa yang dialami maupun tindakan yang

Mengenal Zola

Gambar
Saat ini pukul 02.00. Setelah membaca sampai halaman 45 salah satu novel karya Emile Zola,  perut saya sepertinya menggerutu.  Ia bersuara meminta untuk diisi. Alur cerita yang mulai saya nikmati akhirnya terpaksa mandek. Saya akhirnya harus menuruti nafsu perut tersebut.  Dalam perjalanan mencari warung,  dengan berjalan kaki,  pikran saya masih mengingat alur cerita yang baru saya baca.  Ya,  salah satu novel karya Emile Zola memang cukup menarik.  Terutama si tokoh utamanya. Berhubung warung langganan masih tutup,  saya pun memutuskan untuk berjalan-jalan sembari mencari tempat yang lain. Namun,  di tempat yang lain,  tanda-tanda adanya warung yang masih buka tak terlihat.  Hanya ada beberapa rombong nasi goreng. Kemudian,  saya putuskan pergi ke swalayan 24 jam di sekitar temapt tersebut.  Satu snack dan satu botol susu murni kecil cukup untuk mengganjal perut. Saat keluar, saya lihat,  warung langganan mulai ditata untuk dibuka. Saya pun memutuskan untuk menunggunya di depa

Surantat

Gambar
Lelaki Paro Baya yang Lekas Berputus Asa Sore itu matahari terlihat sejuk. Diikuti hembusan angin yang tak sebegitu besar, temaram cahayanya memberikan ketenangan. Termasuk dirasakan Rantat. Seorang laki-laki parobaya beranak satu laki-laki. Dia adalah seorang suami untuk istrinya yang tak pernah muncul setelah empat tahun lalu memutuskan untuk merantau ke negeri seberang. Dia juga seorang ayah dari anak laki-laki kurus berkulit sawo matang yang saat ini duduk di bangku SD. Dia juga adalah seorang anak dari nenek tua yang beralih peran menjadi ibu dari anaknya. Sore itu dia memancing di sungai belakang rumahnya. Sudah sangat lama dia di sana. Hari itu dia memutuskan untuk tak bekerja meski sering kali anaknya merengek meminta berbagai hal yang dia temukan di televisi. Namun, "nanti kalau sudah punya uang" adalah ungkapan yang lumayan ampuh untuk menenangkan anaknya itu. Hari itu adalah hari Jumat. Bagi seorang penganut salah satu agama yang dianggap benar, hari itu

Definisi Teman

Gambar
http://static.republika.co.id/uploads/images/headline_slide/pertemanan-pria-ilustrasi-_150218020253-323.jpg Malam itu, saya bersama seorang kawan ngobrol di warung kopi (warkop). warkopnya tidak terlalu mewah, lumayan untuk sekadar nongkrong sampai pagi. Sebagaimana biasanya, kami akan membicarakan hal-hal terkini, berkomentar, dan memvonis senakknya. Namun, malam itu obrolan kami berbeda. Di antara kerumunan anak muda yang bermain game sambil berteriak, kami ekslusif berbicara serius tentang teman. Bagi kami, itu Sungguh bukan tema pembicaraan warkop yang biasa kami obrolkan. Tema itu muncul saat teman saya asyik mengamati telepon genggam pintarnya. Sembari mengisap sebatang sigaret yang tinggal separo, ia sodorkan benda tersebut kepada saya. Saya terdiam, tidak ada masalah dengan foto itu. Tidak ada unsur pornografi, provokasi, dan saya kira wajar. Kami juga mengenal mereka. Ia lantas bertanya di mana si Fulan. Biasanya komunitas itu ada si Fulan. Pasti ada dia dalam setiap