Postingan

Menampilkan postingan dengan label Sastra

Wajah Postkolonialisme dalam Cerpen "Penjaga Malam"

Gambar
Ilustrasi penjaga malam. (Sumber: kompasiana.com) Analisis Cerpen "Penjaga Malam" Karya: Eka Kurniawan             Sebagai sebuah cerpen yang masuk kedalam kategori cerpen fantastik atau kita dapat sebut sebagai cerpen yang berbau irasional atau mistis, cerpen secara umum dominan terhadap hal-hal tersebut. Kaitan dengan wajah psotkolonial dalam cerpen ini terletak pada gambaran-gambaran irasional tersebut. Argumen tersebut berdasar pada pertama, adalah mengenai pandangan oriantalisme barat terhadap timur. Seperti kita ketahui kemunculan teori ini ialah suatu bentuk keresahan orang-orang yang dalam ini adalah para warga negara yang bertindak sebagai seorang korban penjajahan tidak menemukan kenyamanan pasca penjajahan diakhiri oleh sebuah negara yang mendominasi. (Nurhadi, 2011).             Kedua adalah pemaknaan post dalam kata postkolonial sendiri. Seperti dijelaskan dalam beberapa makalah maupun buku yang memaparkan penjelasan mengenai postkolonial tel

Mengapresiasi Sastra, Cerpen 'Penjaga Malam' Karya Eka Kurniawan

Gambar
Eka Kurniawan. (Sumber: detik.com) APRESIASI SASTRA Cerpen ‘PENJAGA MALAM’ Karya: Eka Kurniawan Oleh : FERI FENORIA RIFA’I 121111070 /1/ Cerpen merupakan bagian dari genre prosa. Prosa sendiri merupakan salah satu genre dalam dunia kasusatraan Indonesia yang memiliki cirri kebahasaan yang bebas dan terurai, bebas dan terurai disini diartikan sebagai bentuk ungkapan nilai estetika (ciri utama kebahasaan sastra) dan ungkapan ketidaklangsungan berupa bentuk narasi bahasa yang terurai dalam strukturnya. Berbeda dengan ciri genre sastra yang lain seperti puisi dan drama. Puisi memiliki cirri kebahasaan yang dipadatkan dalam struktur badannnya atau dapat disebut pula bahasa yang dimampatkandalam beberapa kata dana kalimat yang sederhana. Begtu pula dengan genre sastra drama. Struktur drama memiliki ciri kebahasaan berupa adanya dialog, stage direction dan keterangan adegan atau kramanggung. Dari ketiga genre kesusastraan Indonesia tersebut, dalam hal ke

Karikatur yang Tak Beratur

Gambar
Bagi saya,  memandang sebuah objek yang non-realis,  tapi bukan pula surealis,  selalu menarik dan lumayan bertahan cukup lama.  Saya masih sangat ingat,  ketika duduk di bangku SD,  sore tepatnya,  ibu saya hendak mengajak pergi ke rumah nenek. Segala persiapan dan seluruh keluarga pastinya diajak.  Namun, kala itu,  kartun Tsubasa sangat menarik perhatian saya. Bahkan, instruksi Ibu untuk saya bersiap tak ter-record sama sekali. Saya tetap meliarkan imajinasi yang saya peroleh dari visualisasi kartun Tsubasa tersebut.  Turut hanyut dan membayangkan bahwa dunia ini tidak nyata alias indah seperti visual kartun itu,  pikir saya. Itulah seni.  Ia merupakan seongok megic yang mampu memberikan energi.  Seperti halnya yang melekat pada seni-seni yang lain semacam sastra berwujud puisi,  prosa, maupun drama. Ia merupakan energi yang mengaktifkan sinyal imajinasi pada manusia. Itu bukan berarti tidak baik atau negatif.  Imajinasi dalam bahasan tersebut bermakna keaktifan sinyal otak

Randu yang Menggebu

Gambar
http://www.caradesain.com/14-foto-indah-lampu-di-malam-hujan/ RANDU melihat jam digital yang terpasang di salah sudut kantor. Ia melihat dua titik berkedip di antara angka 00 dan 01. Lantas, pandanganya mengamati dan mencari seorang senior perempuan yang duduk di seberang pintu keluar. Dia belum pulang, pikirnya. Masak, kalah dengan dia, pikirannya terus menerawang dan menganalisis tindakan yang akan dilakukan berikutnya. Lumayan lama ia memperhatikan keadaan sekitar. Dipandangnya tumpukan koran-koran bekas di pojok kantor. Diciumnya harum wangi godaan aroma tubuh perempuan yang barusan nyelonong lewat di belakangnya. Cantik, seksi, otaknya kira-kira berkata. Ia juga serius mengamati layar monitor berukurun 12 inci yang di salah sudutnya tertulis "Bekerjalah dengan hati, jangan setengah-setengah". Sebentar pula, ia selalu berjalan menyusuri dimensi waktu mengingat gadisnya yang mengatakan itu saat berpesan pada hari ulang tahun. Ini pesan atau todongan, tanya Randu kemb

Di Tingkat Mikro, Kedaulatan Pun Penting

Gambar
Ilustrasi: Feri Fenoria Karcis parkir dua ribu tanpa kembalian membuka lakon saya sinau dengan Cak Nun. Balai Pemuda Surabaya pukul 23.00 kala itu, saat saya tiba, sudah lumayan ramai. Meski demikian, dari lamat-lamat alunan sound system yang terdengar ketika memarkir kendaraan, suara yang mengisi masih bukan Cak Nun. Alias, Cak Nun belum munggah atau naik panggung memberikan petuah-petuah. Syukur,  belum ketinggalan. Saya sangat berharap, malam itu isu yang bakal diangkat tentang Jawa. Ya,  minimal soal Jawa lampau atau nilai-nilainya. Namun,  setelah mendapat tempat di pojok sayap kanan belakang panggung,  saya menyimpulkan, dini sebenarnya,  harapan tersebut ternyata salah. Itu saya dapati dari diskusi pembuka yang digelar. Yakni,  bicara soal zalzalah, hiperpesimistis sindrom sebenarnya. Ada Ukhti dan Anak-Anak Sembari menunggu Cak Nun naik,  kepulan rokok yang bersahut-sahutan dari setiap bagian kerumunan masa menarik untuk diperhatikan. Juga,  seloroh "pento

Puisi: Indonesiaku

Gambar
Sebelum ini... Kami mengenalmu di pagi yang buta Kami melepasmu di senja yang merona Pada gelap,  kau terjaga... Menjaga putra putrimu yang sering lupa Indonesiaku.. Tahu,  kami .. Sabang adalah perkasanya tangan kananmu Merauke,  kukuhnya tekad di tangan kirimu Miangas adalah kepalamu yang lugu, namun tak palsu Dan, Rote, kaki-kaki tekadmu yang menyokong kewibawaanmu Indonesiaku.. Kami setuju.. Bahkan sangat sepakat dan sangat setuju Kau begitu jelita.. Kau begitu rupawan... Dan, anggapnya khalayak, Kau sungguh menawan.. Bak potongan surga yang diciptakan Namun,  Indonesiaku... Putra-putrimu mulai lupa, Mulai berkerah hanya untuk kepalsuan Bahkan,  menyulut kesakitanmu melalui kebanggaan dan kesengajaan Indonesiaku.. Kami rindu,  Kami termangu di ujung jendela dengan rintik hujan yang merdu Beberapa mata kami tiba-tiba berair, Dengan mulut yang berkatup dan hati yang meletup Indonesiaku... Maklumkanlah... Beri kejernihan pada pikiran dan hat

Mengenal Zola

Gambar
Saat ini pukul 02.00. Setelah membaca sampai halaman 45 salah satu novel karya Emile Zola,  perut saya sepertinya menggerutu.  Ia bersuara meminta untuk diisi. Alur cerita yang mulai saya nikmati akhirnya terpaksa mandek. Saya akhirnya harus menuruti nafsu perut tersebut.  Dalam perjalanan mencari warung,  dengan berjalan kaki,  pikran saya masih mengingat alur cerita yang baru saya baca.  Ya,  salah satu novel karya Emile Zola memang cukup menarik.  Terutama si tokoh utamanya. Berhubung warung langganan masih tutup,  saya pun memutuskan untuk berjalan-jalan sembari mencari tempat yang lain. Namun,  di tempat yang lain,  tanda-tanda adanya warung yang masih buka tak terlihat.  Hanya ada beberapa rombong nasi goreng. Kemudian,  saya putuskan pergi ke swalayan 24 jam di sekitar temapt tersebut.  Satu snack dan satu botol susu murni kecil cukup untuk mengganjal perut. Saat keluar, saya lihat,  warung langganan mulai ditata untuk dibuka. Saya pun memutuskan untuk menunggunya di depa

Surantat

Gambar
Lelaki Paro Baya yang Lekas Berputus Asa Sore itu matahari terlihat sejuk. Diikuti hembusan angin yang tak sebegitu besar, temaram cahayanya memberikan ketenangan. Termasuk dirasakan Rantat. Seorang laki-laki parobaya beranak satu laki-laki. Dia adalah seorang suami untuk istrinya yang tak pernah muncul setelah empat tahun lalu memutuskan untuk merantau ke negeri seberang. Dia juga seorang ayah dari anak laki-laki kurus berkulit sawo matang yang saat ini duduk di bangku SD. Dia juga adalah seorang anak dari nenek tua yang beralih peran menjadi ibu dari anaknya. Sore itu dia memancing di sungai belakang rumahnya. Sudah sangat lama dia di sana. Hari itu dia memutuskan untuk tak bekerja meski sering kali anaknya merengek meminta berbagai hal yang dia temukan di televisi. Namun, "nanti kalau sudah punya uang" adalah ungkapan yang lumayan ampuh untuk menenangkan anaknya itu. Hari itu adalah hari Jumat. Bagi seorang penganut salah satu agama yang dianggap benar, hari itu

Puisi: Kepala-kepala Manusia

Kuberjalan pada jalan setapak Di sekelilingnya terlihat kepala-kepala manusia Tercecer pula darah-darah segar Yang meliuk-liuk dijalanan basah Matanya melotot Dia melototiku Hingga aku ragu untuk melewati jalan itu Aku tak mungkin kembali sebab dibelakang, terlihat kawanan malam yang mencekam Aku harus berjalan Terus melanjutkan perjalanan Saat pikiran berusaha menerka-nerka Kurasakan kaki tercengkeram oleh tangan Kulihat tangan keluar dari tanah-tanah yang subur itu Dia menahanku Tak sedikitpun membiarkanku bergerak Kepala-kepala itu tiba-tiba meloncat Mendekat sembari terus melotot dengan picik Tak pernah ku sangka berikutnya Tangan-tanganku tak bisa kugerakkan Dia hidup tanpa persetujuanku Lantas ia raih satu kepala yang berkelebat di belakangku Aku sempat bertanya Kenapa meraih kepala itu Kulihat pula aku tak merasa kenal Tak pernah melihat dia sebelumnya Lantas tangan kiriku berusaha mencongkel matanya Hingga sangat kasar Mata itu pun tak berupa

Puisi: Pulang

Rumahku mulai lapuk Tanahnya mulai gersang Daunnya mulai menguning Jalanan setapak mulai tak tampak Menjelma jalanan besar yang sepi Tangan-tangan tak lagi melambai Ia bersembunyi di saku-saku celana yang hangat Suara-suara tak lagi terdengar Ia tertelan pada dinding-dinding Lantas menggema pada ruang-ruang nurani Rintik hujan tak lagi bersuara Ia lenyap di telan kosong Di telan pikiran yang tak dipikirkan Kambing pun tak lagi liar Ia mematung dan terdiam Terkatup menelan kepedihan Sangat sekali aku sesalkan Aku ingin pulang Sangat ingin pulang Bukan pergi ke tempat yang tinggal bisa ku kenang Tapi aku ingin pulang Ke tempat lugu yang tak ada hantu

Desain Poster PKM Gong Gumbeng Ponorogo

Gambar
Poster PKM Pengabdian Masyarakat di Kecamatan Wringinanom Kabupaten Ponorogo  Sastra Indonesia Fakultas Ilmbu Budaya Universitas Airlangga

Wajah Postkolonialisme dalam Cerpen "Penjaga Malam" Karya: Eka Kurniawan

Wajah Postkolonialisme dalam Cerpen "Penjaga Malam" Karya: Eka Kurniawan             Sebagai sebuah cerpen yang masuk kedalam kategori cerpen fantastik atau kita dapat sebut sebagai cerpen yang berbau irasional atau mistis, cerpen secara umum dominan terhadap hal-hal tersebut. Kaitan dengan wajah psotkolonial dalam cerpen ini terletak pada gambaran-gambaran irasional tersebut. Argumen tersebut berdasar pada pertama, adalah mengenai pandangan oriantalisme barat terhadap timur. Seperti kita ketahui kemunculan teori ini ialah suatu bentuk keresahan orang-orang yang dalam ini adalah para warga negara yang bertindak sebagai seorang korban penjajahan tidak menemukan kenyamanan pasca penjajahan diakhiri oleh sebuah negara yang mendominasi. (Nurhadi, 2011).             Kedua adalah pemaknaan post dalam kata postkolonial sendiri. Seperti dijelaskan dalam beberapa makalah maupun buku yang memaparkan penjelasan mengenai postkolonial telah menegaskan bahwa pemaknaan kata tersebut

Apresiasi Sastra 3 Idiots

Gambar
3 IDIOTS MEMOTIVASI ATAU MEMPROVOKASI ? : SEBUAH APRESIASI KARYA SASTRA BERUPA FILM   Oleh  : FERI FENORIA RIFA’I 121111070 /1/ Di era teknologi informasi dan komunikasi yang semakin berkembang, film bukan lagi menjadi sesuatu yang mewah dan luar biasa. Berbeda dengan era-era sebelumnya, film merupakan sebuah media hiburan yang diperuntukkan kepada kaum-kaum elite atau kaum menengah atas. Selain itu, film-film tersebut dipertunjukkan  dalam bioskop-bioskop yang terdapat dalam Mal di kota-kota besar sehingga terjadi kecenderungan kaum-kaum elite yang lebih sering menikmati hal tersebut. Film sendiri merupakan sebuah bentuk hiburan berupa pertunjukkan yang menggunakan gabunggan antara gambar dan suara disertai dengan visualisasi atau rekaman jejak kehidupan manusia. Di Indonesia, dunia film mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hal tersebut dibuktikan dengan pertama, jadwal pemutaran film pada gedung-gedung film atau bioskop sehari mencapai tiga sampai lima